Mohon tunggu...
Cindar Bumi
Cindar Bumi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Philosopher

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

rekonstruksi makna Pluralisme

16 Februari 2014   04:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:47 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Buat sebagian orang Pluralisme adalah setitik dari pecahan masalah dalam hubungan antar umat beragama, sebagian lainya menganggap Pluralisme sebagai bumbu untuk merajut kerukunan umat beragama. Nyatanya, hanya segelintir orang yang mampu menjadikan Pluralisme sebagai perangkat untuk mempererat hubungan sosial antar umat beragama.

Pluralisme lahir dari kemajemukan agama, suka tidak suka Pluralisme adalah hal yang tidak dapat dihindari, tinggal bagaimana kita menyikapinya. Di Indonesia sendiri saat ini ada lima agama yang diakui oleh negara, Yakni Islam, Kristen, Hindu, Budha dan Khonghucu. Menurut salah satu bapak plularisme modern, John Hick, keanekaragaman agama muncul melalui pengalaman mistis (Religious experience) hal itu yang kemudian menjustifikasi keyakinan seseorang. Masalahnya, masing-masing orang memiliki pengalaman mistis (Religious experience) yang berbeda-beda sehingga memicu lahirnya agama-agama di dunia. Memang syah-syah saja seseorang menganut keyakinan sesuai dengan pengalaman mistisnya. Sebab, itu bisa dijadikan kendaraan untuk memperkokoh kerangka teologi agama yang dianutnya.

Perbedaan ini sejatinya mampu kita nikmati dengan semangat kebersatuan NKRI yang menggelora dalam jiwa, namun tidak demikian yang terjadi di tanah air kita. Sebagian "oknum" justru mencari celah untuk memecah belah persatuan umat beragama dengan memperkosa makna Pluralisme itu sendiri. Yang lebih menyedihkan, orang cenderung menilai existensi sebuah agama melalui fenomena (external) tanpa tahapan-tahapan numena (internal). Seperti dijelaskan Immanuel Kant, penilaian melalui fenomena adalah penilaian yang bersifat absurd dan subjektif bahkan cenderung bersifat cacat epistimologi. Sebab, orang tersebut mencoba memberikan penilaian terhadap sebuah tradisi keagamaan hanya melalui penglihatan fisik tanpa melakukan pendalaman materi, untuk menghadirkan penilaian obektif yang validitasnya terverifikasi, sedianya itu dilakukan melalui rangkaian research yang bersifat oservasi partisipatif. Artinya, peneliti harus mengikuti ritual keagamaan di agama itu, membaur dengan komunitas dan memahami tradisi-tradisinya sehingga peniliaian yang dihasilkan valid, objektif dan dilengkapi dengan fakta-fakta empiris. Dengan demikian mudah-mudahan kita dapat terhindar dari opini-opini picisan yang cenderung bersifat common sense.

Sejatinya, Pluralisme lebih mudah dipahami sebagai kemajemukan dan keraegaman umat beragama, jika dipahami sebagai persamaan keagamaan, bahwa setiap agama itu sama dan autentik mungkin agak lebih sulit diterima.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun