Oleh: Gheanita Ariasthapuri (Universitas Kristen Krida Wacana)
Jatuh cinta. Sebuah emosi yang tanpa sadar bisa membuat perasaan dan pemikiran seseorang menjadi berubah total. Perempuan yang tadinya malas berdandan, bisa tiba-tiba rajin memoles wajahnya. Pria yang tadinya berantakan dan malas mandi, bisa tiba-tiba menjadi rapi dan wangi. Dan orang yang tadinya pemarah, bisa saja menjadi orang yang sangat manis dan murah senyum. Ya, itulah cinta, berjuta rasanya.
Lalu apa sebenarnya yang menyebabkan “love rules our live”? Apa sebenarnya yang membuat orang yang biasanya begitu tegar menjalani kehidupan, bisa tiba-tiba terpuruk ketika sang cinta pergi? apakah memang begitu adanya cinta, sebuah emosi yang datang tak diundang dan hilang tak bilang-bilang?
Pernahkan anda berpikir mengapa air yang masuk lewat mulut, bisa keluar lagi dalam bentuk air kemih? Apakah hal tersebut terjadi secara tiba-tiba? Tentu saja tidak, air tersebut harus menjalani serangkaian proses didalam tubuh kita melalui darah, masuk ke ginjal, baru kemudian apabila tidak ada kelaianan dalam tubuh, air tersebut akan dikeluarkan kembali dalam bentuk air kemih. Sama halnya seperti cinta, berawal dari kagum, melalui serangkaian proses pendekatan, dan apabila berjalan sesuai keinginan maka cinta akan keluar dalam suatu ekspresi sebuah kasih sayang yang membahagiakan.
Semua hal yang terjadi dalam hidup kita, bukanlah sebuah kebetulan semata. Selalu ada proses yang mengaturnya. Salah satu yang berperan adalah hormon. Berperan sebagai konduktor di dalam tubuh, hormon memimpin seluruh perjalanan organ-organ ditubuh kita. Perjalanan makanan, cairan yg masuk, tekanan darah, pertumbuhan tulang, seks, termasuk juga cinta. Oksitosin atau yang popular dengan sebutan hormon cinta ini, ialah salah satu hormon yang dihasilkan oleh hipotalamus dan disimpan dalam kelenjar pituitari belakang. Hormon yang berperan sebagai neurotransmitter di otak ini bertugas dalam pembentukan Air Susu Ibu serta memperlancar proses persalinan. Hal inilah yang menciptakan adanya ikatan batin yang kuat antara ibu dan anaknya. Lalu mengapa disebut sebagai hormon cinta?
Para peneliti dari Swiss melakukan penelitian tentang manfaat hormon oksitosin pada interaksi hubungan suami istri untuk membantu terjalinnya komunikasi yang lebih baik. Mereka merekrut beberapa pasangan suami istri yang dibagi secara acak menjadi dua kelompok: satu kelompok peserta diberikan oksitosin intranasal dan kelompok lainnya menerima plasebo, dalam bentuk semprot hidung. Setelah itu setiap pasangan dilibatkan dalam diskusi yang tajam di lingkungan laboratorium. Para ahli menganalisis efek dari hormon yang diberikan kepada setiap pasangan dan menemukan bahwa hormon oksitosin mampu menurunkan tingkat stres dan dapat meningkatkan perilaku komunikasi yang positif, jika dibandingkan dengan pasangan yang menggunakan plasebo.1
Namun, oksitosin ini juga tidak hanya berperan dalam menumbuhkan perasaan bahagia, tetapi juga dapat menimbulkan perasaan cemburu, kecewa dan sedih.
Penelitian dilakukan terhadap 56 orang yang mengikuti double-blind test placebo dan oksitosin. Sebagian dari mereka bermain peran dan dikondisikan menjadi orang yang seolah-olah mendapatkan uang banyak, sebagian lagi mendapatkan uang yg lebih sedikit dari yang lain atau kehilangan uangnya.
Hasil pada test ini didapatkan bahwa orang yang mendapatkan oksitosin, dan berperan sebagai orang yang mendapatkan lebih banyak uang, akan cenderung mendapatkan kepuasan diri yang berlebihan melihat pesaingnya mendapat uang yg lebih sedikit.
Begitupun halnya dengan orang percobaan yang berperan sebagai orang yang memiliki uang lebih sedikit, ketika mereka mendapatkan oksitosin mereka akan cenderung merasa cemburu melihat yang lainnya mendapatkan uang yang lebih banyak.2