Agama dan ilmu pengetahuan seringkali dewasa ini mengalami benturan dari berbagai sisi. Padahal dari hasil membaca saya dari beberapa buku maupun referensi jurnal lainnya, indikasi antara kedua hal ini memiliki signifikansi yang cukup ideal yang dimana agama dan intelektual saling menopang antara satu dengan lainnya. Tulisan ini hanya bentuk dari keresahan serta curahan hati saya sebagai mahasiswa semester tujuh mengenai betapa mirisnya realitas lapangan di era modern ini yang mayoritas mengedepankan aspek sekular.
Knowing every particular object a.k.a kepo terhadap hal yang bersifat ilmiah saya rasakan ketika berada di jenjang SMA. Sebenarnya keluarga saya sangat senang untuk berdiskusi terkait berbagai hal yang nantinya selalu berfinalisasi pada sisi intelektual atau keilmuan. Namun, ketertarikan dan rasa ingin mengenal lebih lanjut baru saya alami tiga tahun terakhir sampai sekarang.
Hidup di keluarga religius membentuk pribadi saya yang kental akan tatanan moral agama. Harus seperti ini, harus seperti itu. Berbagai nasehat orang tua saya laksanakan walaupun belum mengetahui apa benefit dari hal tersebut. Seiring berjalannya waktu, barulah terbit evidence yang variatif. Contohnya, saya baru mengetahui bahwasanya ada Tuhan dalam otak manusia melalui karya Taufiq Pasiak.Â
Jikalau seseorang salah paham terhadap Tuhan, maka secara otomatis dia akan memiliki kesalahpahaman terhadap kehidupan. Apabila kehidupan salah, maka akan celaka. Oleh karena itu, proses pengetahuan akan Tuhan akan lebih maksimal dengan melakukan praksis yang diiringi oleh ajaran agama. Agama yang akan membimbing nalar manusia agar tidak melenceng dari maslahah umat itu sendiri.
Integritas antara agama dan ilmu pengetahuan inilah yang sudah sangat jarang saya temui. Banyak orang yang berintelektual namun buta terhadap agama. Maka konsekuensi yang dihadapi tak lain dan tak bukan munculnya klaim serta kebijakan yang hanya menguntungkan golongan tertentu tanpa memperdulikan aspek baik atau tidaknya hal tersebut di tengah umat. Seperti pelegalan LGBT di Jerman yang menyalahi nurani manusia.
Dengan demikian, peran antara moralitas yang sesuai dengan hati nurani manusia dan proses intelektual harus bermelodikan pada maslahah. Karena ilmu tanpa agama buta, agama tanpa ilmu lumpuh. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H