"The limits of my language are the limits of my mind. All I know is what I have words for."
- Ludwig Wittgenstein
Bahasa merupakan alat yang digunakan manusia untuk berkomunikasi, menyampaikan ide, mendapatkan informasi, menambah wawasan, dan masih banyak lagi. Oleh karenanya, sisi linguistik seseorang memang bagian yang harus dimiliki untuk memudahkan berbagai akses terhadap hal diatas.
Senin yang cerah di Samsun, penulis dengan senyum lebarnya sangat antusias untuk memulai hari. Kenapa? Karena ini adalah hari pertama sit in di kelas bersama para mahasiswa Ondokuz Mayis University. Dosen mengabarkan bahwa anak jurusan hukum (termasuk penulis dan rekannya) untuk sementara masuk ke kelas pendidikan. Awalnya, penulis merasa tidak ada keanehan, "hanya kelas pendidikan, pasti aku bisa mengikuti pembelajaran dengan baik" pikirnya. Ternyata, penulis memasuki ruang kelas PhD a.k.a pembelajaran bagi mahasiswa S3 yang berjurusan bahasa. Materi yang disampaikan terkait language policies yang diiringi dengan pembahasan dua jurnal internasional. Jurnal pertama dengan judul Family language policy in retrospect: Narratives of success and failure in an Indian--Iranian transnational family oleh Seyed Hadi Mirvahedi dan Mona Hosseini yang memaparkan kisah anak mereka, Elena yang ketika masih kecil kesulitan untuk bisa berbicara sebab orang tuanya yang berkewarganegaraan yang berbeda serta sering pindah ke berbagai negara. Kemudian, ditemukanlah solusi bahwa sebaiknya Elena cukup fokus dikelilingi dengan bahasa ibunya, Iran selama beberapa waktu. Dan tak lama setelah Elena bisa berbicara bahasa Iran, dia juga bisa berkomunikasi dengan bahasa asing lainnya.
Ketika membahas artikel ini, penulis sempat melontarkan beberapa argumen terkait konsep bilingual yang dia ampu di keluarganya, yakni bahasa Batak, Minang, dan bahasa Indonesia. Ternyata hal tersebut ditanggapi secara responsif dari para mahasiswa yang bisa dilihat dengan banyaknya pertanyaan yang dilontarkan kepada penulis. "Apakah kamu kesulitan dalam menggunakan bahasa yang berbeda? Siapa yang mengajarkan bahasa daerah itu padamu?" dan masih banyak pertanyaan lainnya. Akhir kata penulis menyadari bahwasanya banyak aspek yang terkandung dalam sosial-budaya Indonesia yang dianggap biasa ternyata sangat menarik untuk dikaji bagi para turis ataupun peneliti dari luar negeri.
Artikel kedua berjudul "I want to keep my North Korean accent": Agency and identity in a North Korean defector's transnational experience of learning English karya Eun Sung Park dan Heekyeong Lee. Untuk bagian ini, artikel tidak dibahas secara komprehensif dikarenakan keterbatasan waktu dalam proses pembelajaran. Namun, tidak ada rasa penyesalan yang hadir di benak penulis. Diskusi yang sangat memikat hatinya untuk melihat sisi apa lagi yang dimiliki Ibu Pertiwi agar bisa diteliti di tingkat internasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H