Mohon tunggu...
Cimatcimut Dhita
Cimatcimut Dhita Mohon Tunggu... profesional -

guru-teman bermain dan belajar ^^ cimatcimut.blogspot.com= ayo ibu2 mampir :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dua Ramadhan

7 Agustus 2013   09:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:32 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Aku membaca lagi surat kusam itu hati-hati. Seharusnya di masa ini aku bisa tersenyum tiap senja di teras rumah, memetikgitar untukmu, merayumu dengan suaraku yang merdu mendayu walau sedikit serak dan menerima secangkir teh panas yang khusus kau siapkan untuk lelaki tua sepertiku. Setelah itu kita duduk berdua, berdampingan, tidak terpisah walau oleh meja kecil di depan rumah. Kita tidak berjarak,lekat.Seperti mentari yang pelan-pelan juga mendekatkan tubuhnya, menenggelamkan diri pada malam yang ikut merapat naik. Berpadu dalam tenang namun diam-diam saling mengaitkan hati. Lalu anak lelaki kita pulang. Mencium takzim kedua tangan kita, masuk sebentar ke dalam rumah. Lalu keluar lagi menceritakan semua yang ia alami seharian. Dengan bersemangat. Sampai pada akhirnya kita melihat wajahnya merona, saat ia menceritakan tentang hatinya yang mungkin sudah berhasil dicuri oleh seorang wanita pemalu, yang hanya bicara bila ada perlu. Lalu pura-pura tidak kenal saat berpapasan di jalan. Persis seperti mu dulu. Tawa kita berderai hingga air mata pun ikut mengurai. Tiap senja kita berkumpul sebagai keluarga yang selalu bahagia keterlaluan.

Itu seharusnya. Tapi lihatlah, lelaki tua ini di senja hari bukannya duduk di teras menikmati secangkir teh panas dari istri tercinta tapi malah sibuk membaca kembali surat-surat tua dari mu yang kau kirim dua puluh lima tahun silam. Aku belum terlalu tua sebenarnya. Tahun lalu lima puluh tujuh. Tapi tidur sendiri di kamar sambil memandangi fotomu ternyata bisa membuatku menua lebih cepat. Raga dan pikiranku lebih tepatnya.

Aku sudah memutuskan untuk tidak berhubungan lagi dengan segala sesuatu yang ada hubungannya denganmu (kecuali memandang fotomu tentu saja. Itu kebiasaan yang mustahil diubah). Termasuk membaca surat usang yang waktu itu membuatku menyesal setengah mati. Namun siang tadi saat aku menabungkan hasil kerjaku di sebuah bank. Seorang satpam yang membukakan pintu tersenyum padaku. Ku taksir usianya sekitar dua lima. Gagah, rupawan. Dan kau tau apa, dia mirip sekali denganmu.

Aku memandangnya agak lama. Ia sampai kikuk dan menanyaiku berkali-kali “ada yang bisa saya bantu?”. Aku menggeleng dan segera menyelesaikan hajatku. Saat aku hendak keluar dan melewatinya, aku menatapnya sekali lagi, agak lekat. “Anda mirip seseorang” kataku. Ia hanya tersenyum “siapa Pak?”. “Istriku”. Jawabku sambil berlalu, di dadanya ada name tag bertuliskan Ramadhan R.

Sayang, dia yang menggerakkanku untuk membuka lagi buntalan surat-suratmu. Yang artinya membuka kotak kerinduanku padamu. Kau harus tau, tak ada satupun suratmu yang tercecer. Mulai awal kau menulis surat tiap bulan lalu jarang-jarang dan yang terakhir kau kirim pada H minus tiga ramadhan. Setelah itu tidak pernah ada surat-surat lagi. Tidak pernah.

Di surat terakhir itu, aku tahu kau meneteskan air mata. Tulisan-tulisan itu nampak kabur terkena air. Tapi aku menangkap pesanmu.

Mas, sebentar lagi aku melahirkan. Kandunganku sudah sembilan bulan lebih. Ampuni aku yang tidak tau bahwa dalam tubuhku ada dirimu waktu itu. Ampuni aku yang berdosa ini, yang telah meninggalkanmu. Tapi ini anak kita yang akan menjadi penerus kita. Mengasuh kita saat tua... Jika laki-laki akan kunamai dia Ramadhan, jika perempuan Ramadhani. Semoga kau tak keberatan, nama itu ku pilih karena sebentar lagi bulan ramadhan.Sekali lagi ku harap mas berkenan.”

Tentu saja aku berkenan. Ramadhan nama yang megah, agung. Nama bulan yang sangat mulia. Besok entah lusa juga ramadhan, dua kubu Islam terbesar di Indonesia sedang mengadakan sidang masing-masing. Pun pemerintah. Aku memilih patuh pada pemerintah saja. Seperti kata Rasul seharusnya kita memang mematuhi pemerintah.

Mengingat kata Rasul, hatiku bagai dirajam sembilu. Di manakah kepatuhanku pada wasiat Rasul dua puluh lima tahun lalu? Saat kau mengeluh karena aku lebih suka duduk-duduk di depan rumah menghabiskan waktu dengan merokok dan ngobrol dengan tetangga yang lewat, daripada mencari sesuap nasi untukmu. Di manakah kesadaranku sebagai suami, saat dengan mudahnya memaksamu membagi-bagi uang hasil ngamen yang luar biasa minim untuk keperluan rumah tangga yang luar biasa besar? Tagihan listrik, tagihan telpon, makan sehari-hari dan aku masih mengambil sebagiannya untuk sekedar mabuk bersama teman-teman di jalan. Betapa ajaran agama dan wasiat Rasul baru bisa ku terima saat kau sudah memutuskan untuk pergi. Meninggalkanku. Mencari penghidupan yang lebih baik.

Bukan, bukan salahmu. Tentu saja ini salahku yang bodoh. Yang hanya pandai membual tentang “masa depan cerah” yang aku janjikan padamu. Sehingga kamu yang anak baik-baik dan manis, mau menikah denganku. Pengamen kumal yang tidak punya apa-apa. Dulu aku sering marah saat kamu selalu minta maaf karena tidak bisa membuatkanku teh hangat. “Duitnya di atur yang bener dong. Nggak becus banget sih? Masa beli teh aja nggak mampu!”, kamu hanya diam lalu masuk dan keluar dengan kertas berisi coretan-coretan pengeluaran bulanan. Hasilnya minus. Aku menelan ludah, “Ya tapi kan aku udah usaha!” kataku mengelak. Kulihat air matamu menetes. Kau tidak pernah melawan kata-kataku, tapi dari tangisanmu aku tau kau memendam luka. Sungguh aku mencintaimu. Aku hanya tidak tau bahwa cinta itu membawa konsekwensi. Bahwa cinta itu bukan sekedar aku merayumu lalu tidak melirik wanita lain. Cinta itu menerimamu, memberimu hati dan memberi hati berarti memperhatikan jiwa dan ragamu. Dan sebagai suami aku gagal.

Aku tau aku gagal saat aku membaca kisah tentang Rasul yang begitu tanggung jawab pada keluarganya. Ia adalah tulang punggung yang kuat. Tidak rapuh sepertiku. Saat kau memutuskan untuk pergi aku tau kau juga terluka sama sepertiku yang diam tapi diam-diam berlari mencari jurang pelarian. Bunuh diri!

Saat itulah Allah menampakkan kasih sayangnya. Harusnya aku mati tertabrak mobil, tapi lelaki di balik kemudi itu sungguh gesit mengerem mobilnya. Aku di bawanya pulang. Aku di kenalkan pada keluarganya. Aku diliputi kehangatan kasih keluarga yang selama ini tidak pernah kudapatkan. Mulai hari itu aku bekerja di rumahnya sebagai tukang kebun. Tidak mengamen lagi. Lalu kadang-kadang juga diminta bantu-bantu di masjid terdekat. Saat membersihkan atap lemari, sebuah buku tidak sengaja jatuh. Itu tentang Rasul, istriku. Itu tentang Rasul yang membuatku sangat merasa bersalah padamu. Aku geram pada diri sendiri.

Taukah kamu aku adalah lelaki beristri yang tak beristri, mereka merasa aku perlu dikasihani jadilah aku ditugasi untuk merawat kos-kosan keluarga mereka, sekaligus menjadi penghuni di sana. Sampai saat ini.

Tahun demi tahun gajiku dari menjadi Bapak kos ku tabung untuk menjemputmu pulang. Aku tidak tahu apakah aku masih berhak. Aku sudah tua pula. Tapi senyummu di foto setiap malam seperti memintaku untuk memelukmu lagi.

Ah... kertas suratmu basah lagi. Tulisannya kabur lagi. Tapi aku masih bisa membaca kata Ramadhan di sana. Pasti dia sudah dewasa sekarang. Sama seperti satpam yang kulihat di bank tadi siang. Sumpah mati wajahnya mirip sekali denganmu. Apakah aku terlalu rindu padamu ya? Sampai-sampai segala sesuatu menjadi berpusat padamu. Mungkin.

Aku mengembalikan buntalan surat dari mu di bawah baju saat seseorang mengucap salam dari luar sana.

Aku bergegas ke depan, mungkin seseorang sedang cari tempat kos.

“Waalaikumussalam...” satpam tadi?

“Ah Bapak yang di Bank tadi siang ya? Wah dunia ini sungguh sempit ternyata. Saya sedang cari kos ada kamar kosong?” ia tersenyum dengan caramu.

“Ya, masuk-masuk” kataku sedikit bergetar, entah karena terlampau senang, entah karena tua.

Kami duduk di teras. Dadaku berdesir, aku melihatmu di wajahnya. Benarkah dia...

“Kenalkan Pak, nama saya Ramadhan Raharja”

Aku semakin menelan ludah. Mataku berkaca-kaca.Beni anak kos mengahampiri kami.

“Pak Raharja, saya mau bayar tagihan kos”

Ramadhan menatapku cepat merasa memiliki nama yang sama denganku. Bisa kupastikan dia Ramadhan kita, entah bagaimana feeling kebapakan ku menuntunya untuk meyakinkan itu,Sayang. Dia menjemputku. Terimakasih sudah mengirimnya. Sayup-sayup terdengar berita dari radio dalam rumah, pemerintah menetapkan bulan Ramadhan jatuh esok hari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun