[caption id="attachment_205811" align="alignleft" width="500" caption="Ilustrasi Serimpi"][/caption] “Seni tari ini telah melestarikan dirinya menjadi bentuk seperti saat ini, sebuah kecantikan rapuh yang cepat berlalu, sebuah pesona warna, garis dan keanggunan yang lembut,” tulis Beata Anna Henriette Alexandrine dalam bukunya yang berjudul Serimpi.
Serimpi, tari dari tanah Jawa yang ada sejak zaman dahulu kala. Kemungkinan besar ini adalah tari warisan zaman Hindu kuno di tanah Jawa. Dimana Serimpi dibawakan oleh para pendeta-pendeta perempuan untuk menghormati dewa dan dipentaskan di taman candi sebagai persembahan bagi Dewa Syiwa, Wisnu dan Brahma. Era Hindu Jawa berakhir, namun Serimpi tetap hidup di istana-istana Raja Jawa, dan abadi hingga kini, seabadi kecantikan para penarinya.
Tyra de Kleen, seorang pelukis asal Swedia yang berkarya di tanah Hindia-Belanda pada tahun 1920-an melalui karya ilustrasinya menggambarkan beberapa gerakan yang ada dalam Serimpi, seperti Serimpi Linggih Rakit, Serimpi Nyembah, Serimpi Jengkeng Ngenceng, Serimpi Dodok Nglayang, Serimpi Sirig dan Serimpi Sekar Suwun. Ilustrasi ini digelar di Bentara Budaya Yogyakarta, 8 – 16 Agustus 2012.
Dengan detil Tyra de Kleen menggamarkan kostum tari Serimpi; mekak, sampur, slepe, ketu irah-irahan, gelang, juga tatanan rambut dan riasannya. Ketidak proporsionalan tubuh yang digambarkan Tyra de Kleen justru memperlihatkan kuatnya sendi-sendi yang ditarik sang penari, gerakan-gerakan yang begitu jelas tergambar, wiraga yang begitu kuat terlihat didalam ilustrasinya. Penari yang ayu, dengan wajah yang konsisten teduh dan kalem itu dikenali benar olehnya, dan digoreskan dalam gambar-gambarnya.
Serimpi telah menunjukan keagungannya, dipertunjukkan didalam candi Hindu kuno, didalam beteng keraton, hingga kanvas pada zaman yang terlampau jauh selisih usia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H