Mohon tunggu...
Yuanita Aja
Yuanita Aja Mohon Tunggu... -

Seorang perempuan dengan mata hampir segaris yang sumringah dan suka mempertanyakan hal-hal aneh hingga dituangkan lewat untaian kata dilayar monitor :D

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Harus Dipaksa

29 April 2014   10:12 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:04 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Karena sesuatu paksaan biasanya akan menjadi kebiasaan. Sekalipun hal yang tadinya dipaksa adalah bukan minat kita, suatu saat karena berawal dari paksaan akan berujung menjadi kebiasaan.

Tak jarang paksaan sesuatu juga berakhir menjadi tekanan terhadap seseorang, tingkat kepenatan, terkekang, merasa terbatasi bisa juga timbul karena paksaan. Namun kali ini, bagaimana hal paksa memaksa kita mulai dalam hal kebaikan misal dari paksaan rajin ibadah, menutup aurat serta disiplin dalam berbagai hal? Bisa lho…

Saya punya kisah, ada seorang teman saya kami sama-sama meneruskan ke jenjang perguruan tinggi yang sama di salah satu kota yang terkenal banyak universitas di Indonesia. Universitas tersebut mempunyai paksaan atau nama halusnya sebuah peraturan yang meminta para kaum perempuan yang terdaftar sebagai mahasiswanya untuk memakai penutup aurat. Selain penutup aurat, otomatis tidak hanya atasnya saja dong yang ditutup, bawahnya juga. Dengan nama lain, sebuah tranformasi diri dari yang biasa memakai pakaian minim, menjadi pakaian yang lebih sopan dan menutup seluruh lekuk tubuh, tetap dalam bentuk pakaian ya.

Sebenarnya mengenai peraturan menutup aurat memang sudah jelas tahu, namun apa daya memang disitulah jurusan yang diminati dengan akreditasi terbaik. Kebetulan diterima otomatis ya anggap saja hanya saat kuliah nanti pas diluar dilepas gak apa-apa. Namun, kejadian unik pun terjadi, saat dimana hal yang kita anggap bisa kita selingi pada kenyataannya malah membuat itu menjadi ciri khas kita dimata teman-teman.

Tahukah anda, saat teman saya mencoba untuk tak berhijab diluar saat maen, dengan alasan toh dulu tidak berhijab sah-sah aja dong sekarang gak berhijab? Dengan berbekal alasan itu kemudian pede-lah dia berlenggak lenggok bermain tanpa hijab. It’s ok toh hijab adalah ajakan dari dalam diri, bukan aturan paten untuk diri. Hari berganti, bulan pun berganti, suatu ketika karena mungkin kebiasaannya bermain setelah pulang kuliah, nongkrong ala anak muda tanpa ganti baju atau sekedar melepas hijab katanya males buka, sekalian aja. Dari situlah, teman-teman kampusnya mengenal dia seorang perempuan berhijab, walaupun kenyataannya saat malam keluar entah makan atau nongkrong dengan teman beda kampus dia tak berhijab. Karena teman kampusnya jauh lebih banyak dengan teman beda kampusnya, pada akhirnya dia memilih berhijab dengan alasan yang baru lagi, yakni tak enak melepas karena teman-teman dikampus kalo maen banyak yang gak melepas hijab. Jadilah dia sering keluar menggunakan hijab dengan teman-teman kampusnya karena dia juga kebetulan termasuk perempuan yang aktif dalam organisasi otomatis sering keluar ngumpul dengan teman-teman organisasinya. Dan tak pernah lepas hijab saat bersama teman-teman satu kampusnya.

Dari situ, teman-teman mengenalnya sebagai perempuan berhijab. Beberapa teman kampusnya tahu bahwa dia masih buka tutup hijab, ada yang komentar (maklum manusia, mau tau aja urusan orang) dia bilang, “kamu lebih cantik pake hijab lho, lebih berkarakter”. Awalnya dia gak gubris, namun lama-lama banyak yang komentar sama, hingga pada akhirnya dia memutuskan untuk selalu memakai hijab saat keluar. Bahkan, saat dia keluar dengan teman beda kampus, sempat ditanyakan tumben berhijab, biasanya polosan, dengan entengnya dia berkata, “katanya aku tambah cantik pake hijab” padahal sesungguhnya dia pernah bercerita bahwa hatinya bukan mengiyakan dia cantik memakai hijab, lebih pada ada rasa tertelanjangi, malu dan entah rasa apa lagi saat dia tak berhijab.

Dari penggalan kisah diatas tentu, pelajaran yang dapat dipetik adalah, sesuatu yang berawal dari paksaan tak berarti menghasilkan hal buruk, apalagi paksaan dalam hal kebaikan. Memang awalnya keluhan, cibiran pasti keluar dari mulut kita langsung, membela diri, bahwa aku ya aku, tanpa ada hal apapun yang dapat memaksa. Akhirnya, walau penuh dengan keluhan, namun tak berarti selamanya mengeluh  itu karena dipaksa kan? Suatu saat akan terbiasa, hingga tak terasa dari paksaan yang penuh keluhan, menjadikan kita sosok yang lebih baik, serta melupakan keluhan menjadi kebiasaan untuk selalu mentransformasi diri menjadi lebih baik.

Percayalah, semua pernah merasakan perubahan dalam dirinya, maindset kita perlu dirubah sejak diri, apapun tentang paksaan untuk berubah menjadi lebih baik itu perlu ditanamkan. Otak kita mengatur sepenuhnya apa yang kita inginkan juga kerjakan. Otak juga yang mengatur kerja hati serta jantung. Saat kita sering bergabung dengan orang-orang kreatif tak akan dipungkiri kita pun akan berubah menjadi kreatif, begitupun ketika kita berkumpul dengan orang-orang yang suka berbuat kericuhan, maka tak pelak kita pun akan ikut. Lingkungan sangat berpengaruh untuk diri, namun otak pun dapat menangkalnya dengan selalu menerapkan pemikiran yang positif agar selalu terhindar dari hal-hal buruk. So, paksaan tak selalu membuahkan keburukan kan? Bisa jadi karena paksaan anda malah menjadi pribadi yang tadinya tidak dianggap menjadi dianggap. Paksalah diri anda untuk berubah menjadi pribadi yang selalu lebih baik setiap harinya, maka saat anda ingin berbelok menjadi pribadi yang buruk, maka alarm warning dalam otak akan memantulkan sinyal untuk anda kembali pada jalur perubahan yang memang telah membuat anda menjadi pribadi yang baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun