Mohon tunggu...
Cikal Aulia
Cikal Aulia Mohon Tunggu... -

Mahasiswi Ilmu Komunikasi, Fisip-Untirta

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Koruptor, Penjajah di Negara Sendiri

8 Januari 2014   15:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:01 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Indonesia, sebuah Negara bekas jajahan Jepang dan Belanda. 350 tahun menjadi lading ung bagi Negara penjajah. Sekarang, setelah 68 tahun memploklamirkan kemerdekaannya sudahkah Indonesia benar-benar merdeka? Jawabannya belum 100%. Mungkin saat ini Indonesia sudah berdiri di atas kepemerintahan sendiri, tetapi justru orang-orang yang kita sebut sebagai pemerintah itulah yang kini menjadi sosok penjajah untuk negeri ini. Dengan cara melakukan korupsi, oknum koruptor di jajaran kepemerintahan memakan uang rakyat, mengegerogoti kesejahteraan kita demi kesenangan pribadi mereka. Lantas, apa yang membedakan mereka dengan penjajah yang mereka cela?

Hal tersebut tentu saja tidak sesuai dengan cita-cita bangsa yang tertuang dalam pembukaan undang-undang dasar ’45 untuk menciptakan masyarakat adil, makmur dan sejahtera. Pemerintah yang seharusnya menjadi pihak paling di andalkan untuk mencapai cita-cita tersebut, malah menjadi pihak yang paling sulit dipercaya dan dipertanyakan kejujurannya karena ulah koruptor yang ada di jajaran keperintahan Negara ini.

Para koruptor merebut kesejahteraan rakyat, menggunakan uang Negara yang seharusnya bias dialokasikan untuk subsidi pendidikan, kesehatan, dan menambah tingkat kesejahteraan rakyat untuk kepentingan pribadi mereka. Para koruptor pun secara tidak langsung sudah merebut serta merusak hak orang lain untuk hidup dengan layak. Dimana kah moral para koruptor tersebut? Bukan kah sebagai warga Negara Indonesia kita sudah di ajarkan hidup bermoral sejak kecil?

Anehanya lagi para pelaku korupsi tersebut adalah prang-orang pintar dengan tingkat pendidikan yang tinggi. Tapi sungguh disayangkan, kepintaran mereka digunakan untuk sesuatu yang sia-sia dan mereka hanya menggunakan otak mereka untuk memikirka bagaimana cara menggelapkan uang Negara tanpa harus diketahui oleh pihak lain. Kepintaran mereka tidak sejalan dengan pemikiran jangka panjang, seperti bagaimana dampak ke keluarga mereka jika suatu saat mereka tertangkap atas tuduhan tindak pidana korupsi, bagaimana perasaan anak mereka dan bagaimana keadaan psikologis anak mereka terutama yang masih duduk di bangku sekolah, karena mereka pasti akan mendapat kecaman dari berbagai pihak. Cukup cerdaskah mereka untuk mereka memikirkan hal tersebut? Koruptor adalah amanusia egois, bahkan mereka tidak memikirkan masa depan keluarga mereka?

Dampak kemasyarakat sendiri pun sangat terlihat jelas. Ketimpangan dan kesenjangan social antar para koruptor dan masyarakat biisa kita lihat bahkan dengan mata telanjang. Banyak masyarakat di Provinsi Banten ataupun Indonesia hidup di ambang garis kemiskinan. Pendidikan yang katanya “wajib belajar 9 tahun” masih dulit dijangkau, terutama oleh orang-orang di pinggiran Provinsi Banten banyak anak kecil yang harus bekerja dan sekolah. Mereka mencari uang untuk bias tetap bersekolah, mengamen, berdagang asongan bukan lagi ha lasing untuk mereka. Dan hal tersebut jauh lebih mulia di bandingkan dengan bagaimana cara para koruptor mendapatkan uang di kepemerintahan kita. Harusnya mereka malu dengan kenyataan tersebut. Mereka tega memakan uang yang seharusnya bias digunakan untuk subsidi pendidikan dan kesehatan masyarakat. Apa hanya mereka yang pantas hidup sejahtera? Apa hanya para koruptor yang berhak hidup layak? Kesejahteraan dan hak mendapatkan kehidupan yang layak itu seharusnya dimiliki oleh seluruh lapisan masyarakat.

Sebuah pertanyaan kemudian timbul , apakah hidup mereka terlalu susah sehingga mereka harus sampai memakan uang yang sebenarnya nukan hak mereka? Apa gaji mereka jauh dari kata cukup? Haruskah kita sebagai rakyat yang mereka pimpin mengadakan penggalangan dana atau pengumpulan koin peduli untuk menunjang kehidupan mereka?

Dari sisi masyarakat, akan kah kita terus membiarkan korupsi? Membiarkan jajaran kepemerintahan kita diisi oleh orang-orang yang licik. Mencari solusi untuk korupsi di Banten ataupun di Indonesia memang merupakan hal yang sulit dan cenderung mustahil, ibarat mencari jarum di tumpukan jerami. Semua orang tidak ingin di pimpin oleh orang-orang licik dan munafik, tapi pada kenyataannya orang-orang seperti itulah yang justru menduduki dan mendominasi pemerintahan Indonesia. Mereka bias menduduki posisi tersebut melalui jalan suap. Di tengah kondisi perekonomian saat ini memang jalan suap sangat mudah digunakan untuk membeli idealism dan pandangan orang tentang korupsi.

Jika kita ingin menghapuskan korupsi, yang harus kita lakukan setidaknya adalah tidak lagi menyambung rantai korupsi. Calon yang menggunakan metode suap di kampanyenya , sudah pasti akan mengambil alih dan menyambung rantai korupsi dengan tujuan mengembalikan modal yang mereka gunakan pada saat korupsi. Jadi, saat kita menerima suap dari mereka hal tersebut justru akan menjadi boomerang untuk kita di hari kedepannya.

Jika sudah begitu apa yang bias kita lakukan? Demonstrasi jelas bukan merupakan suatu solusi. Berteriak dijalan meneriakan aspirasi adalah sesuatu yang percuma jika kita lakukan di hari-hari sekarang ini. Pemerintah sudah dibutakan mata hati dan mata kepalanya serta sudah ditulikan telinganya sehingga tak bias lagi mendengar aspirasi yang disuarakan oleh rakyatnya.

Golput (golongan putih) pun bukan pilihan yang tepat, hanya karena kita sudah hilang kepercayaan kepada jajaran pemerintah yang sekarang bukan berarti kita tidak bias lgi memilih. Keputusan kita untuk tidak memilih atau masuk ke golongan putih justru akan di manfaatkan oleh oknum dan pihak-pihak yang bias memanipulasi jumlah suara, akhirnya? Orang-orang kotor lagi lah yang kembali memenangkan pemilihan tersebut dan mengisi jajaran kepemerintahan kita. Gunakan lah hak pilih kita dengan bijaksana

Jika memang kepercayaan kita sudah hilang kepada pemerintah, kita masih bias memperbaikinya. Sebelum memilih ada baiknya kita mengenali calon-calonnya, latar belakang, sejarah mereka di dunia kepemerintahannya. Bahkan bagaimana mereka berkampanye dan cara mereka menujukkan ke public bahwa mereka ada bias mencerminkan bagaimana kepemimpinan mereka nantinya. Jangan mau di iming-imingi oleh uang dan hiburan.

Tetapi jika memang pada kenyataannya pemerintah sekarang sudah tidak bias lagi di benahi tugas kita sebagai para peneruslah untuk mnghentikan budaya korupsi, mengehentikan penjajahan oleh kaum dari Negara sendiri, meningkatkan kesejahteraan da mengembalikan hak kelayakan hidup masyarakat kita dengan cara, mulai membenahi diri, memperhatikan keadaan politik baik di Provinsi Banten maupun Indonesia.

Dan kita harus tetap menjadi generasi anti korupsi dan mempertahankan pandangan kita terhadap tindak pidana korupsi, tetap mempertahankan idealisme di tengah-tengah keadaan tuntutan politik Indonesia yang semakin keras ini. Demi terwujudnya cita-cita bangsa kita, menjadi Negara yang mampu mensejahterakan rakyatnya.

Dan sesungguhnya menghilangkan atau meminimalisir tindak korupsi bukanlah sebuah pilihan melainkan sebuah keharusan yang harus kita jalankan bersama. Bersatu sebagai warga Negara Indonesia, sebagaimana nenek moyang kita mengusir para penjajah zaman dahulu dengan segala keterbatasan yang ada.

Penulis adalah Mahasiswa Semester 1 Prodi Ilmu Komunikasi, Fisip Untirta - Cikal Aulia Rahma

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun