Dru terus mengulang kata itu. Semakin lama semakin banyak dan semakin tinggi nadanya.
Ah, Dru sudah gila.
Kali ini otaknya benar-benar rusak.
Aku kehilangan mata indah Dru. Rasanya ingin aku gantikan posisi Dru. Sungguh aku tak bisa melihat Dru begitu jatuh.
Apa yang sebenarnya terjadi Dru. Kenapa kau diam?
Dru melangkahkan kakinya perlahan.
Dia ambil segelas air putih di ujung meja.
"Aw. Plester di mana?"
Kenapa lagi kamu Dru? Darah segar menetes dari ujung jari Dru. Alih-alih akan ambil air minum, dia pecahkan satu pigura tanpa Poto di dalamnya.
Dru memeluknya.
Aku yakin tanpa Poto, lantas kenapa Dru pegang dengan begitu kuat.
Dia buka jendela kamarnya.
Udara di luar sangat dingin. Dia biarkan angin malam menghapus air mata yang sudah mulai kering. Sesekali tersenyum kemudian bergumam dan dia kembali perbaiki posisinya.
"Dru..."
"Ya..."
Dru roboh kembali. Kepalanya kuat terbentur pada ujung daun jendela.
Darah segar bukan saja dari ujung jarinya. Rambutnya mulai basah. Baju merah muda yang konon adalah baju kesayangan Dru berubah warna.
Dru membuka matanya.
"Aku titip harapanku. Jika bukan untukku setidaknya semesta mampu bercinta lebih lama dan jauh lebih indah"
Aku mati. Aku ikut mati.
Ah tidak, Aku saja yang mati. Bangun Dru. Kau terlalu berharga untuk sekadar dikasihani oleh hidup.
Ayo Dru. Panggil Tuhanmu. Minta nyawa padaNya.