Mohon tunggu...
Cika
Cika Mohon Tunggu... Tutor - ...

No me gusta estar triste . Pecinta "Tertawalah Sebelum Tertawa Itu Dilarang" #WARKOP DKI . Suka menjadi pekerja tanpa melewati titik kodrat wanita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ku Aamiinkan Saja Dulu

13 Mei 2022   00:01 Diperbarui: 13 Mei 2022   00:03 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika sehelai daun saja bisa bertahan dari serangan dan ombang ambing angin sepanjang waktu. Lantas kenapa aku bisa sangat rapuh karena perlakuan laki-laki. Jenis manusia yang kadang ingin kulenyapkan dari bumi ini. Namun di sisi lain kalua semua isinya perempuan dunia ga asik juga.

Aku baik-baik saja seharusnya jika tidak simpan harapan terlalu tinggi dan doa yang semakin lekat.
Kekhawatiran dengan banyak hal mau tidak mau membuat perasaanku pada Bram sedikit, sedikiiiiiiiiit saja berkurang. Bukan sudah tak mau merindu, hanya sudah telanjur hilang kepercayaan dengan segala hal yang Bram janjikan berbalut doa.
"Jadi kamu tidak percaya doa? Di sana Bram khusyu berdoa untuk kamu dan dia. Sementara di sini kamu hanya membandingakn hidupmu dengan aku yang sebetulnya tanpa ada aku pun dunia akan tertawa. Ranting akan tetap berdiri tegak dan Pohon bisa menjadi raksasa hebat penuh energi sekalipun aku taka da lo Dru. Sementara kamu, tanpa kamu sadari mungkin saja Bram akan kehilangan arah hidup jika kamu tinggalkan dia"
"Wow, gila kamu ya? Bram kehilangan arah hidup jika tidak ada aku? Kamu makin coklat makin tidak masuk akal bicaramu."
"Salah Dru. Tidak begitu"
"Begitu. Aku tahu diri. Sangat tahu diri. Bahwa aku hanyalah perempuan yang kehilangan martabat yang sedang mencari di jalanan tentang arti cinta dan rasa, namun sayangnya yang dipeoleh hanya umpatan, cacian, hinaan, yang pada akhirnya aku semakin tidak percaya diri menjadi seorang perempuan yang bercita-cita menjadi pendamping dari pasangan yang begitu menyanyanginya.
"Apa salah Bram?"
"Banyak"
"Iya apa, sebutkan!"
"Pokonya banyak. Saking banyaknya aku tak bisa lagi sebutkan satu peratu."
"Bram sedang berjuang untuk kamu. Kamu menyangsikannya?"
"Berjuang? Lucu kamu. Tidak ada. Tidak pernah ada"
"Ada Dru. Aku saksinya."
"Hei, kamu di sini. Tempatmu tak pernah berpindah. Bagaimana caranya kamu tahu? Bram saja tak kenal denganmu"

Nanar kutatap daun yang sudah tua ini. Dengan penuh harap dia memintaku bersabar.
"Jangan begitu tatapannya. Sungguh tak enak dipandang"

"Iya jangan begitu dong Dru. Jika hingga detik ini aku masih belum bisa menjemputku. Sungguh bukan maksudku. Aku yakin Tuhan sedang siapkan waktu terbaik untuk kita"

Ku Aamiinkan saja dulu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun