Ah Dru, tanpa kau tunggu waktu, kau sudah boleh pungut aku. Namun aku tak punya keberanian rupanya. Terlalu lemah seorang Bramantyo untuk mendeklarasikan keberadaanku sebenarnya.
"Bram aku mau ngomong."
"Dari tadi kamu sudah berbusa Dru sayang."
"No aku serius. Aku mau tanya sesuatu."
"Tanyalah Dru, bagian mana yang perlu kujelaskan?"
Sepertinya aku perlu memesan segelas tubruk lagi untuk Dru. Dru kalau sudah serius perlu habiskan dua gelas tubruk, satu gelas es kopi susu no sugar dan seporsi cireng mahal. Iya mahal isinya hanya empat harganya bisa lima puluh ribu. Padahal kalau beli di pasar bisa dapat lima puluh biji.
"Bram, aku paham denganmu. Aku yang saat ini berantakan tak ingin kau alami hal yang sama. Aku sejujurnya menaruh hati padamu. Namun dengan berat hati aku harus kubur dalam-dalam."
"Pake nisan?"
"Bram aku serius."
"Aku yang tidak mau serius."
"Bram, kamu itu suka ga sih sama aku. Susah ya serius sama kamu. Nyesel aku undang kamu kesini."
"Eh bagaimana?. Kok tanya aku suka atau tidak?. Tidak usah kamu undang juga aku emang akan ke sini. La wong kedaiku kok."
"Eiya lupa."
Kukecup kening Dru dengan segala bisikan doa. Ah Dru seandainya kau tahu, bahwa kau tak bersalah jika kau mau denganku. Aku yang tak punya keberanian untuk membuatmu bahagia. Sekalipun niatku ingin melindungimu, namun rasanya kalau bukan Tuhan yang bekerja maka aku tak dapat lakukan apa-apa. Benar katamu Dru kala itu, aku hanya laki-laki lemah.
"Bram, aku dan kamu bersalah. Sekalipun aku sudah sendiri, namun aku menyukaimu jauh sebelum palu diketuk."
Dan aku berani-beraninya luapkan rasa padamu sementara aku masih terikat pernikahan.Â
Ah Dru, aku sayang sama kamu.
"Hey Bram, melamun saja kerjamu."
"Enak aja, aku masih jadi manager di salah satu perusahaan swasta tak terkemuka di Jakarta Selatan."