Kepulan asap hitam membumbung luarbiasa, aku sungguh takut, tapi ayah tetap meyakinkanku, diam disini jangan kemana-mana, orang-orang panik kalau kita ikut panik yang ada kita celaka gara-gara orang lain bukan karena kebakaran ini.
Aku ikut saja perintah ayah, sambil berdoa dan menangis aku tak pernah menyangka akan ada kebakaran hebat di sini.Â
Tempat tinggalku sangat nyaman dulu, sangat asri dan enak untuk menjadi tempat tinggal, seandainya kebakaran ini menyapu tempat tinggalku aku tidak tahu harus tinggal dimana.
1,2,3 sampai 8 mobil pemadam kebakaran datang.Saat itu belum ada jalan penyambung, sehingga dapat dipastikan titik semprot air hanya dari jalan raya dan bantuan seadanya dari mesjid sekitar. Semua anak, ibu, perempuan sudah diamankan. Hanya tersisa bapak-bapak, anak lelaki dewasa mereka dibantu puluhan petugas Damkar.
Alhamdulillah menjelang magrib api meredup, tugas warga adalah memastikan tidak ada titik api yang akan membesar kembali bila tertiup angin. Kami semua bergotong royong untuk memastikan itu.
Karena waktu sudah terlalu malam, proses interogasi warga dihentikan. Kami diharapkan kembali ke pengungsian dan kerumah warga yang masih layak tinggal, termasuk rumahku. Sesak di rumah kali ini sungguh menyenangkan hati karena bisa melihat tetanggaku tidur tenang setelah berjibaku dari siang tadi.
Keesokan hari tiba, tepat saat aku pulang sekolah aku penasaran untuk mencari tahu penyebabnya. Sambil menelusuri puing kebakaran aku hentikan pandanganku pada sebuah rumah gubuk ditengah kebun yang biasanya sepi menjadi sangat ramai.
Ya, rumah kediaman Aki Atma dan Nini Icih.
Polisi, Pak Lurah, Pa RW dan beberapa tokoh masyarakat, termasuk ayah ada disana. Aku putuskan untuk ikut mendengarkan.
Pak Lurah : "Cing, Ki sok caritakeun kumaha, ceuk Ucup, aki ngahurungkeun korek di walungan"