Sebagai ekosistem yang memiliki peran penting dalam kegiatan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, karhutla gambut memberikan dampak yang cukup besar bagi keseimbangan lingkungan, sebab menurut Hans Joosten (researcher from University of Greifswald) dalam penelitiannya dikatakan bahwa ekosistem gambut mampu menyimpan karbon 2 kali lebih banyak dari pada hutan di seluruh dunia. Ketika gambut terbakar, maka terjadilah proses pelepasan karbon dioksida besar-besaran yang dikenal dengan istilah emisi karbon.
Mencairnya gunung es di kutub utara, pemanasan global, dan naiknya permukaan air laut setiap tahunnya merupakan dampak nyata dari emisi karbon pada abad 21 ini. Padahal, sejak terbitnya Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), beberapa negara di dunia telah berkomitmen untuk berkontribusi dalam pengurangan emisi karbon dengan membatasi kenaikan suhu rata-rata global di bawah 2°C hingga 1,5°C dari tingkat suhu pra-industrialisasi melalui pemenuhan capaian target Nationally Determined Contribution (NDC) yang disampaikan kepada UNFCCC.
Indonesia sendiri telah meratifikasi konvensi tersebut melalui UU No. 16 tahun 2016 dan menetapkan Target NDC berupa pengurangan emisi karbon 29% sampai dengan 41% pada tahun 2030, terdapat 5 kategori sektor yang masuk dalam target penurunan emisi gas rumah kaca dalam NDC, dimana sektor kehutanan menduduki proporsi tertinggi yakni sebesar 17.2& dari 29% target penurunan emisi. Oleh sebab itu, diterbitkanlah Peraturan Presiden No. 98 Tahun 2021 (Perpres 98/2021) yang mengatur upaya untuk mencapai Target NDC nasional melalui penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK).Â
NEK merupakan istilah valuasi terhadap emisi karbon, dengan kata lain setiap karbon yang tersimpan di dalam hutan Indonesia memiliki harga jual selama tidak tereduksi dan dilepaskan ke atmosfer bumi. Harga jual tersebut dapat direalisasikan melalui beberapa instrumen seperti perdagangan karbon, result based payment, dan pungutan atas karbon. Dari sini dapat diketahui bahwa ekosistem gambut tidak hanya memiliki manfaat dalam menjaga keseimbangan lingkungan, tetapi juga manfaat ekonomi bagi negara sebagai penerimaan bukan pajak.Â
Bayangkan jika setiap tahunnya terjadi kebakaran pada hutan lahan gambut, berapa banyak kerugian ekonomi yang dialami negara? Misalnya kebakaran hutan gambut yang terjadi sepanjang 2016-2021, KLHK mencatat emisi karbon akibat kebakaran hutan dan lahan pada rentang tahun tersebut mencapai 980,5 juta ton CO2e. Jika hal demikian tidak diperhatikan, tentu bukan saja Target NDC yang tak terpenuhi, tetapi juga akan memberikan dampak ekonomi negatif terhadap keuangan negara. Mengapa demikian?Â
Pertama, menurut Dian Lestari (Kepala PKPPIM Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan) dalam webinar Kompas Talks: Peluang Pendanaan Dalam Implementasi Ekonomi Hijau, kinerja ekonomi Indonesia akan menurun hingga 3,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB) jika gagal mencapai Target NDC di tahun 2030, karena Indonesia merupakan negara kepulauan yang rentan atas bencana hidrometeorologi yang disebabkan oleh transisi energi dan penurunan emisi karbon.
Kedua, menilik pada hasil simulasi perdagangan karbon dari Kementerian Keuangan, perdagangan karbon  yang  dikelola  oleh  BPDLH  berpotensi  menyumbangkan  PNBP  terhadap  Indonesia  minimal sebesar 0,8%, dan maksimal 2,7%, dari jumlah realisasi PNBP  Indonesia  untuk  periode  2011-2019.  Secara nominal besaran 0,8% setara dengan Rp2,6 triliun pertahun, sedangkan 2,7% setara dengan Rp 9 triliun pertahun.
Ketiga, dana penyelenggaraan NEK dapat membantu pembangunan masyarakat desa sekitar hutan yang jarang diperhatikan. Dalam praktiknya, sebelum diterbitkannya Perpres 98/2021, masyarakat sipil dapat merasakan langsung manfaat ekonomi dari kegiatan penyelenggaraan NEK melalui instrumen voluntary carbon. Praktik ini telah dilakukan oleh masyarakat desa yang bermukim di sekitar Hutan Lindung Bukit Panjang Rantau Bayur (Bujang Raba) Provinsi Jambi. Dimana pada tahun 2020 lalu, melalui pendampingan KKI WARSI, Bujang Raba telah mengumpulkan dana karbon sebesar 1 miliar rupiah, dana tersebut secara bersama-sama dibagikan kepada masyarakat sekitar desa dalam bentuk paket sembako, kebutuhan pembangunan sarana publik dan dana operasional kelompok Pengelola Hutan Desa.Â
Dari potensi dan fakta-fakta diatas, sudah terbayangkan berapa banyak kerugian yang dialami negara dan masyarakat dari menurunnya NEK akibat kerusakan lingkungan yang terjadi selama ini. Lantas, sampai kapan kerugian ini terus diabaikan? siapa yang harus bertanggung jawab?
Menilik prinsip strict liability pada Pasal 88 UU No. 11 Tahun 2020, tersirat dikatakan bahwa setiap pemegang izin bertanggung jawab mutlak atas kerusakan lingkungan yang terjadi di area konsesi nya melalui mekanisme peradilan, artinya secara rigid undang-undang telah menentukan siapakah subjek yang dapat diminta pertanggungjawabannya. Namun bagaimana bentuk pertanggungjawaban tersebut?
Merujuk pada regulasi yang sama, selain dikenakan sanksi administrasi dan pidana, pemegang izin yang konsesinya terbakar dapat pula digugat secara perdata berdasarkan konsep Perbuatan Melawan Hukum. Gugatan perdata ini berbentuk pembayaran biaya pemulihan dan ganti kerugian lingkungan. Indikator dan metode penghitungan ganti kerugian ini telah diatur pada PermenLHK 7/2014, salah satu indikator yang cukup relevan untuk menjadi payung hukum perhitungan NEK sebagai instrumen ganti kerugian lingkungan adalah ganti kerugian ekologis, dimana instrumen ini memberikan peluang negara untuk menghitung setiap potensi nilai ekonomi yang tereduksi akibat kerusakan lingkungan.Â