Bulan Oktober 2023, kami tiba-tiba berencana membaptis putra bungsu kami ke Ambon.
Setelah sekian purnama, keluarga kami akan kembali pulang ke Ambon. Saya pribadi keluar meninggalkan Ambon pada tahun 1997. Beberapa bulan setelah suami dinyatakan lulus dan bersekolah di Jakarta, Papa dan Mama menyarankan saya  mendampingi suami ke Jakarta. Itulah kali terakhir saya menikmati indahnya pemandangan senja di teluk Ambon.Â
Setelah suami menamatkan sekolahnya, kerusuhan sosial di Maluku pecah. Papa dan Mama meminta saya dan suami untuk menetap di Jawa dan menghindar dari situasi konflik. Lalu kami kemudian pindah ke Rembang. Suami saya bertugas di kantor Pemda Rembang. Saya sendiri berkesempatan mengunjungi keluarga. Kami tinggal serumah dengan Bapak dan Ibu serta adik adik saya. Kemudian kami membangun rumah sederhana. Lalu hijrah ke Bandung mengikuti tugas sang suami, meninggalkan rumah yang baru setahun kami bangun.Â
Dari Bandung kami pindah ke Jakarta. Kemudian kami bergeser lebih ke tepi di Kota Depok. Tidak terasa. Dua puluh enam tahun berlalu. Selama masa itu, suami saya beberapa kali pulang ke Ambon mengikuti penugasan tempatnya bekerja. Anak sulung kami sudah mengunjungi Ambon sekali, beberapa bulan sebelum ia bertolak bersekolah di Kyoto. Tetapi saya sendiri sama sekali belum pernah kembali.
Bantuan Keluarga
Puji Tuhan. Rencana dadakan kami mendapat bantuan keluarga. Kakak sepupu kami, Usi Merry, dan keluarga memfasilitasi segala kebutuhan kami. Mulai dari mendaftarkan anak bungsu kami di gereja sebagai peserta baptisan, menghubungi keluarga besar di negeri, menyiapkan acara syukuran sampai menyediakan rumah hunian. Betapa kami bersyukur memiliki kakak sepupu yang dapat kami andalkan.
Demikianlah, pada 21 Desember 2023, kami sekeluarga bertolak ke Ambon. Anak bungsu kami begitu gembira ketika ia tiba di negeri dari mana nenek moyangnya berasal. Sambutan keramahan dan kehangatan kasih keluarga dan sahabat di negeri membuat kami merasa begitu terharu. Bagaimana kami yang begitu lama tidak pernah pulang diterima dengan tangan terbuka. Semua kedekatan ini membuat saya merasa bangga sebagai anak negeri.
Di negeri, kami menghidupkan kembali ingatan tentang tradisi dan nilai kami. Kesederhanaan hidup yang lama kami lupakan kini kami akrabi kembali. Keintiman kasih antar saudara yang memudar di kota, kami rasakan nyata di sini. Dalam semua hal-hal kecil dan biasa. Kunjungan keluarga ke rumah. Menghadiri acara perkabungan keluarga. Kiriman cumi, ikan dan udang ponakan dan menantu. Makan bersama di meja makan. Semua begitu indah. Semua begitu Ambon.
DNA Kabaresi
Hal terpenting dari proses "cancut taliwanda" ini adalah menumbuhkan kecintaan negeri pada anak-anak kami. Terutama bagi putra bungsu kami. DNA kabaresi dalam dirinya muncul alami saat ia bertemu dengan saudara-saudaranya. DNA tidak takut apa-apa. Seng taku mati, menjelma dalam tindakannya untuk lebih berani dan mandiri.
Ia kini lebih mengenal saudara-saudaranya. Menyayangi mereka. Hidup akrab dengan mereka. Serta sedia membela kepentingan saudara-saudaranya di depan kami.
Jika dahulu, ia selalu berujar, "liburan kenaikan kelas aku mau ke .... Sekarang ia dengan lantang berujar, "kapan pun liburan, jika aku punya cukup uang, aku pulang ke negeri".....
Mencintai Identitas
Identitas adalah sesuatu yang kini dimaknai sumir dalam tata hubungan internasional. Slogan kampung dunia menandakan jauhnya penetrasi teknologi dan informasi atas identitas manusia. Dunia kini dipandang sebagai satu kesatuan masyarakat modern. Apa yang terjadi di belahan bumi terjauh dapat langsung diketahui melalui intenet. Kisah dari negeri yang tidak pernah kita kunjungi hadir di layar televisi seakan itu terjadi di gang sebelah rumah kita.