Mohon tunggu...
Asri Christiyani
Asri Christiyani Mohon Tunggu... -

tertarik dengan menulis karena menulis itu asyik.. \r\nwrite.. write.. write.. and change your world

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Cerita tentang Kerang, Juleha dan Harapan Menjadi Dokter (Potret Kemiskinan di Jakarta)

14 Juli 2011   12:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:40 641
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi itu matahari sudah mulai terik, sampailah aku di depan gapura hijau bertuliskan “ Kampung Nelayan Muara Angke”. Aroma khas yang sungguh tidak segar makin menambah keingintahuanku untuk bergegas melihat aktivitas yang ada di kampung tersebut. Rasa takut dalam bayanganku sebelumnya mengenai lokasi ini seketika hilang saat beradu pandang dengan beberapa anak kecil tanpa alas kaki sedang membawa ember berisi ikan hasil tangkapan laut dan selanjutnya menuangkan ember berisi ikan tersebut kedalam drum besar sembari sesekali mereka bercanda dengan rekannya. Aku menghampiri mereka dan bertanya, “halo Dek, lagi apa nih?”

Salah seorang dari mereka menjawab, “lagi mindahin ikan mbak buat dibawa ke pasar lelang, mau beli ikan mbak? Tuh disana aja di pasar lelang”.

“Oh disana ya pasar lelangnya..!! kalo tempat ngupas kerang Adek tau nggak dimana tempatnya?” tanyaku lagi.

“Tempat kijing ya!? Mbak jalan aja lurus, sebelum pasar lelang deket pos pemadam kebakaran ada jalanan masuk aja kesitu, tempatnya rada jauh kedalem ngelewatin tempat ikan asin, pokoknya persis di pinggir laut.”

“Sip deh, makasih ya Dek” jawabku.

Serempak mereka menjawab, “iya Mbak,” sembari menggodaku dengan candaannya “Ati-ati ya Mbak, awas banyak yang nggodain.. hehe.. kalo cape naek ojek sepeda aja.”

Aku hanya tersenyum menanggapi candaan mereka sambil memberi isyarat dua jempol tanda terima kasih dan kemudian berjalan menuju arah yang ditunjukkan mereka tadi. Semakin kedalam berjalan, aroma laut yang anyir dan amis semakin menyengat ditambah dengan kondisi jalanan menuju pasar yang basah dan lembab. Hiruk pikuk orang berlalu lalang, ada tukang becak yang sedang mengangkut tumpukan ikan besar-besar kedalam pasar, petugas kebersihan berseragam oranye sibuk mengangkut tumpukan sampah basah kedalam gerobak sampah, disudut yang lain ada ibu-ibu yang sedang menyusun tumpukan ikan di atas meja sementara di seberang pos pemadam kebakaran, terdapat sekelompok pria bertelanjang dada sedang beristirahat didepan sebuah kedai kopi sambil bercengkerama dengan temannya ditemani kopi sembari sesekali menghisap rokok kretek.

Persis didepan pos pemadam kebakaran, aku berhenti sejenak untuk melipat celana jeans agar tidak semakin kotor karena terendam jalanan yang becek. Kemudian berjalan lagi menyusuri arah jalan yang ditunjukan anak kecil tadi. Awalnya sempat terfikir untuk naik ojek sepeda menuju lokasi, namun urung karena situasi disana begitu menggugah rasa ingin tahuku untuk melihat setiap kejadian dan kegiatan yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Aku begitu menikmati pemandangan disekitarku berjalan, mulai dari para nelayan yang sedang merapatkan perahu kayunya kemudian dengan cekatan memberikan bak-bak berisi hasil tangkapannya kepada kuli-kuli panggul dibawahnya; dua orang lelaki yang serius membersihkan ikan-ikan berukuran besar; ibu-ibu yang sedang menjemur ikan-ikan untuk dijadikan ikan asin diatas papan yang terbentang panjang di sisi kanan jalanan yang ku lewati; sampai dengan pemandangan sekelompok anak kecil perempuan dan laki-laki yang sedang asyik bermain gobak sodor.

Tak berapa lamaberjalan, sampailahku di sebuah rumah kayu, diatas pintu terdapat papan bertuliskan ‘Kerang Hijau’. Aku berhenti sejenak untuk berisitrahat melepas haus dengan bekal air minum yang saya bawa dari rumah dan memakan sebutir permen mint untuk menghilangkan rasa eneg karena aroma bau amis khas laut yang semakin menyengat. Tak jauh dari tempatku berhenti, ada seorang Bapak Tua sedang merapikan tumpukan kulit-kulit kerang di pinggir jalan dengan sekop garpu, kemudian aku menghampirinya, “permisi Pak, maaf ganggu saya mau tanya tempat ngupas kerang dimana ya?”. Tanpa banyak basa-basi Bapak itu menjawab sambil tetap bekerja merapikan kulit-kulit kerang tersebut, “belok kiri neng, percis di pinggir laut.”

“Makasih ya Pak”, kemudian aku pun menyusuri jalanan yang ditunjukan si Bapak tadi, bau amis dari tumpukan-tumpukan kulit kerang yang masih basah membuat perut sangat mual, beberapa kali menahan nafas untuk berusaha tidak muntah, beruntung membawa stok permen mint yang cukup banyak sebagai senjata penghilang rasa eneg. Sesampainya di pinggir laut, suasana terlihat sepi, hanya ada beberapa nelayan sedang menambatkan perahu kayunya. Aku terus berjalan sampai ke perumahan kayu yang berdiri di sepanjang pesisir pantai, cukup padat dan banyak kulit kerang berserakan di sepanjang jalan. Keadaan disana terlihat sepi sekali, tidak aktivitas di sepanjang pesisir laut hanya ada beberapa wanita yang sedang duduk didepan rumahnya.Mataku tertuju pada seorang wanita kurus berbaju merah sedang duduk di dipan kayu sembari menyisiri rambut anak perempuannya. Aku memberanikan diri menghampiri wanita itu, “permisi bu, maaf mau tanya tempat ngupas kerang dimana ya?”

disini Teh (sebutan Kakak dalam bahasa Sunda.red). tapi belum mulai karena lagi nunggu kapal kerangnya belum datang. Ada apa ya Teh?”, sahutnya ramah.

oh cuma mau Tanya aja Bu… Ibu pengupas kerang?” tanyaku lagi.

Iya betul Teh, ada apa ya? Emang Teteh darimana? Wartawan atau dari Partai?” sahutnya lagi sembari mempersilahkan saya untuk duduk di sampingnya.

Dalam hati bingung apa maksudnya si Ibu mengiraku Wartawan atau Partai, lalu aku hanya jawab sekenanya saja sambil tersenyum “oh bukan Bu, saya tadi dari pasar lelang ikan di depan, iseng aja kesini mau liat-liat. Boleh ya Bu tanya soal pengupasan kerang? Penasaran mau tau..”

“oh boleh koq Teh, kirain mah dari tipi (tivi.red) atau partai, soalnya yang biasa kemari sih mereka biasanya suka nanya atau surpei (survey.red) sambil bawa kamera katanya buat masuk tipi ntar abis itu dikasih duit kalo enggak sembako deh.” Ceritanya panjang lebar.

“oh gitu ya Bu.. saya cuma lewat aja koq.. hehe.. ngomong-ngomong lagi nyantai ya Bu? boleh tau namanya siapa?”

“iya nih ngadem, sambil nunggu kapal abis itu kerja deh ngupasin kerang.. Nama saya Maryamah, malu ah namanya kampung” jawabnya lugu.

“bagus koq bu namanya. Ini anaknya Bu? Umur berapa? Udah Sekolah”.

“iya ini anak saya, namanya Juleha, panggilannya Leha.. sekolah TK, umurnya berapa ya..?” terdiam aga lama sambil berusaha mengingat-ingat umur si anak. Kemudian si anak yang bernama Leha, mejawab pertanyaanku sembari menggoda sang Ibu “Yee..masa Mamah lupa umur Leha, lima tahun Teh umurku

Si Ibu hanya tertawa mendengar celotahan anaknya dan kemudian menyahut “maklumlah, saya ga bisa ngitung, taunya cuma duit doang abis dulu ga pernah sekolah Teh” jawabnya polos sambil tersipu malu.

Mendengar jawaban si Ibu, Leha kemudian menyahut lagi “Nggak apa-apa ya Mah, belum rejeki kalo Mamah gak sekolah yang penting Leha bisa sekolah. Kalo Teteh pasti sekolah? Dimana Teh sekolahnya?” Tanya si anak kepada saya. Aku terheran dan bergumam dalam hati bahwa anak ini tidak seperti anak seumuran yang pernah ku temui, dia begitu dewasa dan cerdas yang tercermin dari gaya bicaranya.

Sambil tersenyum kearahnya, aku menjawab pertanyaan gadis manis itu “hehe.. iya Teteh masih sekolah, SD sampe lulus SMA abis itu ngelanjutin kuliah.. kamu harus sekolah yang pinter ya..”

Anak itu hanya mengangguk dan tersenyum mendengar jawaban singkatku itu. Kemudian aku bertanya lagi kepada Bu Maryamah, “biasanya kalo ngupas kerang mulainya jam berapa Bu? Boleh diceritain nggak proses ngupasinnya?”

bentar lagi sih, pokoknya kapal dateng ntar ada yang nurunin drum isinya kerang. abis itu bos yang punya kapal bagi-bagi tugas ada yang ngerebus kerangnya, ada yang bagian bilas trus kerangnya diinjek-injek biar ngupasinnya gampang. Kalo saya tugasnya ngupasin kerangnya. Ngupasnya pake tangan dan biasanya lama tuh, ampe sore baru kelar, kalo udah dikupasin semuanya ntar dicuci lagi biar bersih. Biar hasilnya bagus dan kerangnya ga cepet busuk pas dicuci, airnya dicampur Malin ama sepuhan kodok biar warnanya cakep.”

Panjang lebar Bu Maryam bercerita, sembari mendengarkan ceritanya saya membayangkan proses pengupasannya dan sedikit bingung dengan beberapa istilah yang diceritakan bu Maryam. “malin itu apa ya Bu?” tanyaku.

“oh malin itu kaya air, warnanya putih, kata Bos biar kerangnya kenyal dan gak cepet busuk, belinya di toko di pasar lelang sama sepuhan kodok juga belinya disitu”.

Sempat terkaget mendengar penjelasan si Ibu dan bergumam dalam hati sedih, tersadar bahwa “malin” yang dimaksud si Ibu adalah “Formalin” dan Si Ibu dan semua pekerja pengupas kerang disini tidak ada yang tahu “malin” itu sebenarnya dan betapa bahaya menggunakan formalin dan sepuhan kodok sebagai bahan campuran kerang. Tak mau untuk menghakimi si Ibu tentang formalin dan Cap kodok, aku hanya lebih sering mendengarnya bercerita walau rasanya ingin sekali menceritakan betapa bahayanya zat-zat tersebut.

Sembari bercerita, bu Maryam mengajakku berkeliling tempat pengupasan kerang, letaknya tak jauh dari tempat kita duduk hanya jalan beberapa langkah, letaknya tepat di bibir pantai. Disitu aku bisa lihat tungku yang bisa dijadikan kompor untuk merebus kerang, didekatnya ada banyak drum-drum kaleng yang digunakan sebagai panci untuk merebus. Sayangnya, drum-drum tersebut sangat kotor dan dikerumuni banyak sekali lalat hijau. Di sisi yang lain terdapat karung-karung berisi kulit kerang yang sudah dihacurkan, menurut cerita bu Maryam kulit kerang kering yang sudah dihancurkan itu digunakan sebagai campuran dedak untuk makanan ternak unggasseperti bebek dan ayam, menurutnya lagi kulit kerang bagus untuk membuat hasil cangkang telur yang dihasilkan ayam atau bebek menjadi lebih bagus dan tidak mudah pecah. Sedikit berjalan kearah pinggir laut, terdapat dua buah bak mandi yang berfungsi untuk mencuci dan mewarnai kerang-kerang yang sudah dikupas. Dari sini saya mengetahui bahwa disinilah proses pencampuran formalin dan sepuhan kodok untuk membuat kerang lebih awet.

“biasanya sehari kalo ngupas dapat berapa Bu?”

“kalo saya sehari bisa dapet 2 drum besar kerang, paling kalo udah dikupas jadinya 4-5 kilo. Itu kalo lagi hasil tangkapannya banyak. Tapi seminggu ini saya Cuma dapet sedrum, kata Bos kerangnya lagi susah dicari. Uang ngupas Per drumnya saya dibayar 10.000.”

Lagi-lagi aku dibuat sedih mendengar ceritanya. Bayangkan saja sejak pagi kira-kira jam 10.00 sampai sore hari menjelang matahari terbenam,ia hanya mendapat upah kurang lebih sepuluh ribu saja. Kemudian aku bertanya lagi, “Kalo Suami Ibu kerja apa? Boleh diceritain Tentang Keluarga Ibu?”

Sambil menerawang jauh kearah laut, Bu Maryamah bercerita panjang lebar mengenai keluarganya dan kisah hidupnya. Suaminya bekerja sebagai penarik becak di pasar ikan di Pagi sampai sore hari, sedangkan di malam hari bekerja lagi membantu para nelayan sebagai kuli panggul hasil laut sampai tengah malam. Anak saya baru satu, si Leha ini, sekarang sekolah TK, sekolahnya di depan dekat pasar ikan. “Kalau suami saya paling banyak sehari dapet 30.000, makanya saya kerja ngupas kerang buat bantu suami, lumayan lah buat tambah-tambah beli beras.”

Ternyata Bu Maryamah tidak pernah mengenyam pendidikan karena orang tuanya dikampung tidak mampu membiayai anaknya sekolah. “Saya nggak pernah sekolah, makanya ga bisa baca tulis, saya taunya Cuma duit, kalo warna merah ungu itu 10.000, warna ijo itu 20.000, warna biru itu 50.000 dan kalo yang warna merah licin kaya plastik itu 100.000” ceritanya polos sambil sesekali melihat kearahku dan tersipu malu.

Ia melanjutkan ceritanya “dulu saya cuma belajar ngaji di Masjid sampe lulus Iqra dan Baca Alquran, tapi sekarang juga lupa kalo disuruh baca lagi soalnya udah lama banget. Orang tua saya susah, kerjanya petani padi di Serang Banten. saya anak bontot dari empat bersaudara, kakak saya juga ga ada yang sekolah. Pas udah rada gede, saya diajak abang saya ngerantau kesini (Muara Angke) diajak kerja ngupasin kerang, karena istrinya Abang juga kerja begini juga, kalo Abang saya kerjanya Nelayan Ikan. Sekitar setahunan disini, tiap hari selalu ketemu sama orang yang jadi suami saya. Dia bilang ke Abang saya mau ngelamar trus disuruh ke kampung bilang sama Orangtua saya akhirnya di Kampung kita Nikah sampe sekarang punya anak Juleha yang udah sekolah TK.”

Yang membuatku menjadi terharu terhadap sosok Bu Maryam, adalah ketegaran dirinya dalam menjalani susahnya hidup di Muara Angke, “sesusah-susahnya hidup harus Saya syukuri Teh, habis kalo mau ngeluh juga enggak merubah keadaan, daripada terus-terusan mengeluh ya dijalani aja, yang penting tiap hari bisa makan, bisa bayar kontrakan dan bisa nyekolahin anak saya si Leha. Saya dan suami saya harapannya Cuma satu biar si Leha jadi orang sukses, nggak kaya Bapak ama Ibunya ini. Pokoknya dia mau saya sekolahin sampe setinggi-tingginya”.

Kalaupun ada sesuatu yang dikeluhkannya jika tangannya mulai gatal-gatal dan merah, “suka pusing kalo tangan udah pada gatel, meni merah-merah pisan atuh, rasanya panas. Paling nyuruh si Leha untuk beli salep di warung. Tapi kadang nggak saya rasain, apalagi kalo ngelihat si Leha anaknya pinter, dia itu sering ikut bantuin saya ngupas kerang juga kalo saya lagi cape, anaknya ga pernah rewel, sekolahnya juga nilai-nilainya bagus.” Ceritanya sambil mengelus-ngelus kepala anaknya.

Tak terasa panjang lebar mendengar bu Maryam bercerita, jam tanganku sudah menunjukkan pukul 11.30, tak terasa tiga jam aku duduk ngobrol bersama bu Maryam dan Leha, namun kapal kerang yang ditunggu-tunggu belum juga datang. Menurut Bu Maryam kalo seperti ini biasanya memang tangkapan lagi susah,”paling jam dua-an Teh kapal baru dateng, itupun Cuma sedikit yang dikupasin.”

Sedang asyik kami bercengkerama, ada berapa ibu yang berprofesi sama dengan bu Maryam. Kelihatannya mereka juga masih menunggu kapal tangkapan kerang, kemudian datang menghampiri kami dan ikut mengobrol dengan kami. Seketika itu kami lebur dalam sebuah obrolan dan candaan yang semakin akrab. Pengalaman ini sungguh berkesan bagiku dan menggugurkan bayanganku sebelumnya tentang suasana Muara Angke yang “Keras”. Disini pula saya mendapatkan pengalaman yang sungguh mendalam dan berkesan, ternyata mereka yang saya temui terutama Bu Maryamah, dibalik kepolosan dan kesederhanaannya tersimpan semangat yang gigih, sungguh perempuan yang hebat, kuat dan jarang mengeluh.

Menunggu kapal tidak kunjung datang dan siang semakin terik, aku memutuskan untuk pamit pulang. Walau ada rasa yang kurang lengkap karena belum melihat secara langsung proses pengupasan kerang, namun dalam hati aku berjanji dua atau tiga hari saya akan sempatkan untuk kesini lagi melihat prosesnya langsung. Ada satu hal yang membuat saya terharu dan berat untuk pulang yaitu ketika saya pamit dengan si kecil Leha, “Koq buru-buru Teh…?? Hati-hati ya dijalan kalo ada waktu kesini lagi.. doakan Leha biar sekolahnya lancar dan bisa jadi Dokter” sambil tersenyum lebar dan mencium tangan saya. Entah kenapa tiba-tiba saja saya begitu akrab dengan si Kecil Leha.

Ada sebuah pengalaman yang sungguh sangat berharga bagiku. Terlepas dari susahnya bertahan hidup dan himpitan kemiskinan, bahwa dari pengalaman ini aku belajar lagi tentang rasa Syukur, rasa syukur yang ditunjukan oleh Ibu Maryam. Selanjutnya adalah kegigihan dan ketegaran seorang wanita yang bernama Ibu Maryam dalam menjalani hidupnya yang keras dan susah, yang setiap hari harus berkutat dengan bau amis kerang, rasa lelah demi mencari rupiah yang nilainya sungguh jauh dari keringat yang telah dikeluarkan dan luka koreng pada kedua tangannya, itu semata-mata hanya untuk bertahan hidup dan mimpi besar untuk menyekolahkan anaknya sampai setinggi-tingginya,agar nasib puterinya kelak tak seperti ayah dan ibunya. Dan dari kisah ini saya melihat sebuah harapan besar dari seorang gadis kecil benama Leha, mimpinya untuk terus sekolah dan cita-citanya untuk menjadi seorang dokter, kata-kata gadis mungil itu sampai saat ini masih jelas terngingang di pikiran saya

“…sampai ketemu lagi ya Teh, doakan Leha sekolahnya lancar dan bisa jadi Dokter..!!”

Semoga Tuhan mengabulkan keinginanmu Leha…

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun