[caption id="attachment_217202" align="alignleft" width="222" caption="Ilustrasi oleh Azam Raharjo: "Color Sketch of A Redhead""][/caption]
Hujan tidak terlalu deras, hanya rintik kecil saja. Membasahi beberapa sudut jalanan ibukota, suasana malam yang sebenarnya sayang sekali untuk dilewatkan. Tapi tak urung, Satria malah melarikan mobilnya sangat kencang menuju puncak. Menerobos udara dingin puncak yang sedingin hatinya. Diagnosis dokter pada dirinya terasa sangat tiba-tiba dan sangat mengguncang jiwa. Resepsi pernikahan yang sudah di ambang pintu, seharusnya membiaskan kebahagian di hatinya, tapi vonis itu…Tidak menghiraukan suara hati, apalagi pengharapan, Sartria berlari.. mengejar sesuatu atau malah menanggalkan semuanya. Pancaran matanya datar.
Satria menyadari, mungkin karena tuntutan pekerjaan yang padat dan persiapan menjelang pernikahan telah menguras banyak energinya, sampai akhirnya Satria melupakan kondisi kesehatannya. Akhir-akhir ini ia memang sering merasakan nyeri kepala hebat namun segera diantisipasinya dengan minum obat pereda nyeri. Berat badannya tak terasa turun 3 kilogram kurang dari sebulan ini, hal yang masih dianggapnya wajar karena memang nafsu makannya agak berkurang akhir-akhir ini, dan batuk yang dideritanya hampir sebulan lalu anggapannya karena sekarang memang lagi musim influenza. Tapi kanker paru? Dengan tahap stadium akhir? Setelah dokter menyampaikan padanya, telah menguras banyak fikiran dan energinya.
***
Satria baru tersadar saat menatap cermin, di hadapannya tampak seraut wajahnya yang lesi, layu, dan kehilangan sorot mata elanngnya. Tuhan, cobaan apa yang Kauberikan pada hambaMu ini? Apakah Kau meragukan kepatuhanku padaMu, hingga Kau murka? Ataukah Kau sangat menyayangiku hingga Kau tak ingin kugenggam dunia? Mereguk kebahagiaan bersamanya, kekasih hatiku. Aku telah meluluh lantakkan sebuah harapan untuk hidup damai bahagia bersamaku. Aku telah membuat keluarga besarku juga keluarga besar Rindu kecewa atas semua ini. Aku terpaksa memutuskan ikatan keluarga dengan Rindu. Memupuskan harapan mereka, dengan menggagalkan pernikahan kami. Aku tak memberi alasan apapun, biar saja Rindu dan keluarganya marah dan membenci dirinya, sebenci- bencinya.
Praaaannnngggg……!!! Suara pecahan cermin yang ditinjunya membahana di ruangan itu, sebuah pondok yang dibelinya dua tahun silam. Tak kuasa Satria menatap wajahnya lagi. Tak satu pesanpun ia tangkap atas semua peristiwa ini, dalam benaknya hanya ada satu kemungkinan, pemakaman. Seketika Satria baru terdasar, mamanya di rumah pasti terpukul, apalagi baru disadarinya bahwa hasil foto X-Raynya teringgal begitu saja di ranjang kamarnya.
“Hallo, Satria? dimana kau, nak?” suara mama terdengar serak beberapa saat setelah Satria menghubunginya, ada nada sangat khawatir.
“Ma, aku baik-baik saja. Maaf ma, Satria tidak menyampaikan hal ini pada mama. Setelah diam sejenak untuk menyembunyikan rasa pilu ia melanjutkan, …Satria juga baru tahu sebulan yang lalu, ma…dan sekarangpun mama sudah tahu.”
“Satria, katakan pada mama dimana kau sekarang! Jangan membuat mama khawatir…” kelembutan dan kerendahan suara mama sedikit memberi semangat Satria. “Asal mama janji tidak akan mengatakan pada siapapun keberadaanku? Juga kepada Rindu?” Terdengar nada suara Satria memohon.
“Kamulah yang terpenting dalam hidup mama, nak.”
“Aku di puncak, ma. Jika mama kesini ajaklah Nunik saja.” Nunik adalah kakak sepupu Satria yang tinggal serumah di Jakarta.