Mohon tunggu...
Sri Budiarti
Sri Budiarti Mohon Tunggu... Guru - Sesekali saya suka menulis meski dengan kemampuan yang terbatas.

A Drop of ink can move a million people to think

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Fitrah…

25 Agustus 2011   17:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:28 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_131471" align="alignright" width="400" caption="http://www.google.co.id/imgres"][/caption]

Jalanan ramai, cenderung bising. Suara klakson motor sambung-menyambung pengendara di atasnya seakan tak rela mereka mencium asap knalpot di teriknya matahari siang.

“Mak, ini baju-baju. Masih bagus-bagus!” sambil meletakkan sekantong plastik ukuran lumayan besar di lapak Mak Tijah nenek renta penjual baju-baju bekas di trotoa Pasar Kembang, wanita tambun paruh baya itupun melepas helm dan mengelap dahinya yang berkeringat.

“Ndak onok duwit. Aku ndak onok duwit. Ojo saiki!” (tidak ada uang. Saya tidak punya uang. Jangan sekarang) balas Mak Tijah rada ketus.

“Loh…sopo sing njaluk duwit?” (Loh, siapa yang minta uang?) sambil senyum kecut wanita itu menyeringai menggaruk-garuk rambut kepalanya.

“Lah ngopo loh? ( Lah, mau apa loh?), enteng saja si Mak memandanginya sesaat yang kemudian melanjutkan menata kembali baju-baju di hadapannya.

“Walah, niki kulo sumbang kok? Ndak dijual, mak!” seloroh wanita itu melemah.

“Lah kowe biasane lak dodolan nang aku tokh?”( Lah, kamu biasanya kan menjual ke saya kan?) sambut si Mak Tijah kemudian.

“Iyoooo….saiki lak arepe riyoyo loh, mak. Aku ra duwe duwit. Wis iki zakatku yo mak? “Loh…zakat kok rasukan, toh nduk? Mbok yo duwit ngonoloh…utowo beras. (Loh, zakat kok baju, tokh nak? Uang gitu loh…atau beras), wajah Mak Tijah melongo seolah minta penjelasan.

“Wis mbuh, mak. Aku tenan ra duwe duwit. Klambi-klambi iki lak iso didol, dadi duit la an mak?” (Entahlah, mak. Saya sungguh tidak punya uang. Baju-baju ini kan bisa dijual, jadi uang kan, mak?), seperti ada nada sesal dalam ucapan wanita itu.

“Yo iyo…tapi lek payu….lek e gak….,” (iya, tapi kalau tidak….) belum selesai ucapannya, langsung diserobot begitu saja ucapan Mak Tijah, “Lek gak gelem tak gowo balih ae, mak!”(kalau tidak mau saya bawa pulang saja, mak!)

Saya yang kebetulan sedang memilih-milih sandal buat si kecil di trotoar itu (mestinya) sudah beranjak dari tadi, mungkin pantas jika tiba-tiba dada saya seperti dihantam sesuatu yang berat, kaget, karena telah mencuri dengar pembicaraan orang lain.

“Wis ojo….yo wis tak trimo. Suwun yooo nduk.” Nenek itu menyentuh halus lengan wanita di sampingnya. ( sudahlah, saya terima saja. Terimakasih ya nak)

Demikian gambaran riil yang saya saksikan di jalanan ketika kami berjalan-jalan untuk melengkapi keperluan lebaran. Saya jadi teringat nenek saya yang berada di luar kota. Keduanya sama-sama renta, namun nenek yang saya saksikan ini seorang renta yang masih memiliki semangat hidup yang tinggi. Diusianya yang saya taksir tidak kurang dari 75 tahun, saya bertanya dalam hati, kemana anak-anaknya? Keluarganya? Hingga di usianya yang sesenja ini masih berjualan baju-baju bekas.

Demikian juga wanita paru baya yang memberikan baju-baju itu, perawakan dan kepapaan hidup yang menderanya, sepertinya tak beda jauh denganku. Bedanya mungkin, jika aku mengeluarkan zakat dengan sedikit hitungan, tapi wanita itu tak peduli, seambrek pakaian bekas yang dibawanya, apakah setara dengan kewajiban zakat yang harus dikeluarkannya. Lakukah dijual, atau malah menambah sesak lapak nenek tua itu. Niatnya mengeluarkan zakat, sudahkah mengikuti syariah yang dianjurkan.

Berbagai perilaku, tindakan, dan alas an kita dalam mengisi hidup ini, yang bahkan mungkin tak ada satupun kesamaan dalam mengambil keputusan-keputusan, juga dalam menjalankan ibadah di bulan suci ini. Berpuasa, sholat tarawih, bersedekah, dan bentuk ibadah-ibadah lainnya, termasuk berzakat, saya rasa tujuannya hanya satu. Mengharapkan kita kembali fitrah. Kembali ke sifat asal kita diciptakan, suci, bersih dari dosa-dosa. Bagaimanapun bentuknya tapi harapannya satu, yaitu menjadi kembali fitrah.

Fitrah; zakat fitrah memiliki arti sedekah wajib berupa bahan makanan pokok (beras, gandum, dsb) yg harus diberikan sejak awal bulan Ramadhan hingga akhir bulan Ramadan (malam sebelum satu Syawal sampai sebelum dimulai salat Idulfitri). Besarnya zakat yang diberikan adalah sekitar 2,5 kilogram makanan yang kita makan. Kalau mampu boleh dilebihkan. Pemberiannya boleh diberikan dalam bentuk uang sesuai dengan harga makanan pokok yang kita makan. Tujuannya adalah untuk membersihkan jiwa, atau bisa juga disebut zakat jiwa, sehingga setiap jiwa yang lahir sampai terbenam matahari pada pembukaan bulan Syawal wajib dikeluarkan zakat fitrahnya. Dalam Islam pemberian zakat fitrah itu juga berarti penyampaian pahala puasa selama Ramadhan.

Bagaimana dengan zakat wanita tadi? Aku tak mampu berfikir, juga menalar. Ruwetnya daftar belanjaan dan kegiatanku hanya mampu menenangkan diriku sendiri, ah…bukankah semua keputusan urusan ibadah ini mutlak milikNYA? Yang Maha Mengetahui di langit dan di bumi, juga niatan di hati terdalam dari hamba-hambaNYA. Semoga kita menjadi hambaNYA yang kembali fitri….

Selamat menunaikan ibadah Puasa Ramadhan 1432 H, mohon maaf lahir dan batin. Semoga amal ibadah kita diterima Allah SWT dan menjadikan kita orang-orang yang senantiasa bertaqwa. Amin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun