[caption id="attachment_192030" align="alignnone" width="300" caption="pamissee.blogspot.com/"][/caption] Rumah yang kutinggali bersama mama dan anakku saat ini walau tak sebesar rumah kami di desa, cukup tenang dan asri. Tapi tidak sampai sore itu ketika dengan tiba-tiba saja Bima sudah berada di teras rumahku. “Rini...” agak kikuk Bima menyapaku sore itu. Tiba-tiba wajah itu sudah berdiri di depan mataku. Aku mungkin bermimpi, karena memang mimpi selalu mengikatku, namun ternyataannya aku bukan sedang bermimpi, memang benar dia yang ada di depanku. “Kau rupanya…” aku masih mengenalinya. Tak bisa membuka mulutku lagi, tergagap. “Bolehkah?” ia memandang daun pintu rumahku mengharapkan aku mengiyakan mengajaknya masuk rumah, aku tidak menolak dan tidak juga mengiyakan, menyerahkan padanya sepenuhnya. Bima mengikutiku masuk beranda rumahku. Setelah itu, entah berapa lama sampai saat ini ia menungguku. Satu jam, dua jam…mungkin lebih. Aku masih berada di kamar tak tahu apa yang akan kuperbuat. Akankah mendung kembali bergelayut dalam hariku? Masa silam yang benar-benar nyaris terlupakan olehku, meski tidak oleh alam bawah sadarku. Alam bawah sadar yang masih menyimpan erat-erat detail demi detail mozaik hidupku yang tercecer berkeping-keping. Bahkan tak lelah ditebas mimpi semu, tak hilang disembunyikan langit hitam. Cinta atau bukan lagi, yang pasti kau tetap yang terindah dalam hidupku. Bagaimanapun juga harus kutemui dia, sebagai kakakku. *** “Siapa dia… telunjuk Bima menunjuk foto Linda yang terpampang di dinding ruang tamuku, anakmu?” lanjutnya. Aku hanya diam. “Sulit ya, setelah sekian lama…” “Sudahlah, nggak usah basa-basi!” “Cukup banyak aku mengumpulkan keberanian untuk bisa sampai kesini, Bima diam menunduk memain-mainkan jemarinya sendiri. Kematian papa setahun yang lalu aku masih belum sanggup menghadapinya. Bisakah kali ini kau mengantarkanku menghadapnya?” wajahnya memelas menatapku. “Akupun belum pernah kesana.” “Kau masih sakit hati..” ucapnya datar saja seolah hal yang sama juga ia rasakan “Entahlah…” jawabku singkat. Aku lantas beranjak masuk kedalam, membedaki tipis wajahku, seakan ingin menyembunyikan sesuatu dibaliknya, ya..aku tak mau tampak nelangsa di matanya. Kuraih sweeter dan tas. “Ayo kita keluar saja.” Yang kemudian diikutinya sampai masuk mobil Suzuki Carry bututku, aku memintanya duduk di belakang saja, agak risih rasanya jika ia duduk di sampingku. *** Sepanjang perjalanan kami saling diam membisu, sesekali anak mata kami bertemu pandang di kaca spion. Aku membawanya ke sebuah cafe di pinggiran Kali Mas, meski arusnya merambat perlahan dan airnya tak sejernih sungai di desaku, aku berharap ketenangan suasana yang bisa kupandangi disana dapat mengatur ritme galaunya pikirannku. Sepanjang perjalanan sejak dari rumah tadi tak banyak yang kami bicarakan, otakku buthek. “Bagaimana kau menemukanku Bim?” aku mencoba mencairkan suasana sesampainya kami di café. Semenjak papa tiada, mama tinggal bersamaku di Surabaya, rumah papa di Rembang Pasuruan sudah dijual. Darimana Bima tahu keberadaan kami? Apa mungkin dari Bulek Maryati, adik bungsu mama. “Tidak sulit.” sahutnya. “Lantas?” “Banyak yang ingin kuketahui tentangmu.” “Mengapa masih peduli?” “Hanya karena sekarang kau adikku, tidak lantas harus membenciku kan,Rin? Nada bicara yang sama, sewot…tak berubah meski waktu telah membawanya. Lihat aku sekarang, aku bukanlah lelaki yang kau kenal dahulu. Hm…Aku tambun begini, ada nada sinis pada kalimat terakhir yang diucapkannya. Hampir semua helai rambutku juga telah memutih. Sulitkah menerimaku kembali?” Pertanyaan bego, sejak kedatangannya sore tadi aku juga sudah tahu jika dia tak setampan dulu, tak semuda dulu lagi. Tapi kumisnya yang tipis tak bisa lebat serta mata elangnya itu, siapa yang bisa melupakannya? “Menerimamu sebagai abangku?” Meski kami duduk berhadapan dan nyaris semua lekuk wajahnya bisa pandangi dengan leluasa, namun aku tak berani masuk dalam-dalam ke bola matanya, bola mata itu yang pada masa-masa lalu dalam kekejap meluluhkan keangkuhanku, dan meruntuhkan dinding pertahananku. “Mengapa? Kau takut padaku?” kubiarkan ia menyentuh jemariku yang dingin, menggenggamku perlahan seolah takut meremukkan tulang-tulang jariku seperti takut mengulang apa yang pernah dilakukannya dahulu, meremukkan hati dan perasaanku. “Ada yang ingin aku sampaikan padamu,Bim.” “Aku juga.” “Kau duluan, Rin.” “Tidak, kau saja duluan.” Aku berharap ia membuka jalan pembicaraan ini jika sudah mengalir aku tinggal menimpali, mengiyakan, membantah, menyela, bertanya dan terus bertanya setelah memendamnya berjuta-juta detik waktu sesuai yang dimintanya disuratnya waktu itu. Setiap detik memang menjadikanku tua, detik yang tak berarti bagi orang kebanyakan, dan detik demi detik yang berat bagiku saat itu, berjuang mengerang kesakitan. “Siapa gadis kecil itu?” “Bukan urusanmu!” “Ayolah, tak bisakah kau sudahi dulu rasa bencimu?” “Jika itu yang ingin kautanyakan, maaf aku tak bisa…” “Kau bahagia bersamanya?” “Bersama siapa?” “Ayahnya.” Deg! Jantungku terasa tertikam sembilu. “Dia sudah mati! Setidaknya bagiku dan baginya!” “Aku tak mengerti, Rin.” “Tidak harus kaumengerti. Ada lagi yang kau ingi tanyakan?” “Ya. Ia menyeruput kopi susu hangat beberapa teguk, menghisap rokoknya, …apa kau masih merindukanku?” pertanyaan yang dilontarkan dengan mata selidik menembus bagian bening yang membungkus bola mataku. Jangan…please, jangan jatuh. Air mataku. “Kau gila!” segera aku memalingkan wajah. “Memang, hampir! enteng saja jawabannya sambil mengangguk perlahan, …maka jawablah!” “Kau yakin sekali. Tak mau tahu apa yang akan aku sampaikan padamu?” “Mungkin tidak penting.” Aku hampir menampar mukanya, mulutnyanya lancang sekali bicara seperti itu. Tiba-tiba Handphone berdering. Linda. “Ya, sayang…” “Mama dimana?” “Masih ada urusan,sayang. Tidak lama lagi. Kau makanlah dahulu sama eyang uti. Oke?” “Ya,ma. Jangan malam-malam ma.” “Oke.” Klik, hp mati. “Dia? Anakmu?” Hening sesaat, aku harus berani mengatakannya. “Ya, Bim. Jika kau mau tahu dia itu…” tiba-tiba telunjuknya menempel di bibirku. Ssstt…dengarkan dulu ya, aku request lagu ini sengaja untukmu. Oke? Aku diam, menyimak. Maaf, ku telah menyakitimu Ku telah kecewakanmu Bahkan ku sia – siakan hidupku, dan kubawa kau s’perti diriku Walau hati ini t’rus menangis Menahan kesakitan ini Tapi ku lakukan semua demi cinta Akhirnya juga harus ku relakan kehilangan cinta sejatiku Segalanya t’lah ku berikan Juga semua kekuranganku Jika memang ini yang terbaik Untuk diriku dan dirinya Kan ku t’rima semua demi cinta Jujur, aku tak kuasa, saat terakhir ku genggam tanganmu Namun yang pasti terjadi, kita mungkin tak bersama lagi Bila nanti esok …….. Lagu belum juga berakhir, tapi aku bergegas berlari keluar café meninggalkan Bima sendirian. Kupacu mobil dengan kencang, sekencang tangisku yang pilu tertahan. Apa lagi babak baru yang harus kujalani? Tidddaaaaaaaaaaaaakkk! Ternyata kau datang untuk mengiris-ngiris kembali hatiku! Bersambung…. (Bagian 4. Tamat) _________________________________________________________________________________ • Diangkat dari kisah nyata seorang teman yang saat ini sedang dalam penyembuhan psykoterapis di RSJ Lawang. • Nama dan kejadian sengaja disamarkan, diceritakan dengan tambahan unsur imajinatif penulis • Semoga dia lekas sembuh dan bangun dari tidur panjangnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H