Mohon tunggu...
Sri Budiarti
Sri Budiarti Mohon Tunggu... Guru - Sesekali saya suka menulis meski dengan kemampuan yang terbatas.

A Drop of ink can move a million people to think

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Cinta Terlarang (Bagian 1)

9 Juli 2010   07:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:59 800
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="attachment_189296" align="alignnone" width="300" caption="pamissee.blogspot.com/"][/caption]

Kehadirannya yang tiba-tiba membuat hatiku gundah gulana, ujung benak serasa tiada bertepi mencari-cari dimana rasa ini terdampar dari hempasan emosi yang semrawut berbaur antara perasaan marah, benci, rindu, dan benih-benih cinta yang telah terberangus oleh waktu. Selama ini kami hidup cukup tentram dengan semua kesederhanaan ini. Kami memang sudah lama tak berjumpa, sampai dengan saat ini aku masih bingung memikirkan bagaimana cara menjelaskan padanya tentang keadaanku dan juga anak semata wayangku Linda.
Cangkir teh di atas nampan yang kubawa tiba-tiba jatuh. Pecah dan semua isinya tumpah. Aroma teh melati lekat menyambar indera penciumanku, tercecer sudah isi teh panas yang baru kubuat untuk menemaniku bercengkrama dengannya sorei ini.
“Biar mama buatkan lagi,Rin.” Tiba-tiba mama membuyarkan besit anganku yang ikut tercecer bersama pecahan-pecahan kaca di lantai dapur.
“Hhhhh….” Aku hanya bisa mengambil nafas panjang. Berat. Bukan bagi diriku seorang, apalah arti kejadian sehari ini dibanding 16 tahun kutempuh onak dan duri dalam membesarkan anakku, Linda. Yang tak bisa kubayangkan adalah bagaimana reaksinya jika tahu papinya ternyata masih hidup dan sekarang berada di rumahnya. Sebaliknya bagaimana reaksi Bima jika tahu kalau dia telah meninggalkan seorang anak padaku sebelum kepergiannya dulu. Ingin rasanya kuhentikan waktu demi menahan pertemuan mereka berdua, demi menyembunyikan lelaki ini pernah ada dalam hidupku, dan demi menenangkan perasaan ini yang tak henti berkecamuk.
“Sudah, kau temui saja dia. Biar mama yang bikinkan minum ya?” kusahut tawaran mama dengan anggukan kepala. Bukannya ke depan menemuinya, aku malah tenggelam di kamar melengkapkan kekosongan pikiran ini.
Di cermin kutatap wajahku, adakah gurat-gurat ceria tersisa seperti yang dulu selalu menghiasi wajah mudaku jika dia datang mengunjungiku. Penuh rona dan pesona, menyungging senyuman selalu, bersenandung riang, akh…senantiasa merindu bak bumi mencumbui purnama yang dinantinya. Aku tersenyum membayangkannya, ternyata wajah ini masih menyisakan sedikit pesona itu.
Aku mulai memutar kembali memori lama kami saat-saat masih bersama. “Rin, datanglah kesini. Aku menunggumu di tempat biasa.” Melalui telepon Bima mengajakku kencan malam itu. Di tempat kami biasa bertemu Bima menyatakan keinginannya bertemu mama papa untuk melamarku. “Aku tak sanggup hidup tanpamu, Rin. Sedetik saja rasanya tak mau aku meninggalkanmu. Lihat…” tangan Bima meraih telapak tanganku dan diletakkannya di dada bidangnya. “Apa jadinya gemuruh di dadaku ini, jika kita berpisah? Disinilah letak seluruh hidupku,Rin.”
“Bima, bawalah aku. Aku juga tak sanggup hidup tanpamu. Papa dan mama tidak menghendaki kita bersama.” Saat itu aku hanya bisa menangis dan merasa berat betapa kelamnya hari-hari akan kulalui tanpanya.
“Aku sudah mencoba untuk tidak menjumpaimu. Dan mencintai seperti ini sangat menyiksaku.” Bima membisikiku dengan penuh perasaan berat. Aku tak tahan dengan keluhan-keluhannya karena semua yang disampaikannya sama seperti yang kualami.
“Sayang, bawa aku kabur. Ayolah aku sudah tak tahan lagi menahan derita ini.” Pintaku padanya. Di malam yang hening dan dalam iringan hujan gerimis di awal Desember, aku menyerahkan diriku bulat padanya. Penuh cinta dan gairah. Tak ada yang bisa mencegahku mereguk indahnya cinta. Setiap desahan nafasnya seolah menambah kuat ruhku untuk tetap bertahan hidup. Aku menginginkan hidup hanya berdua saja dengannya, apapun yang terjadi aku akan tetap bersamanya, meskipun tanpa restu orang tua.
Hari itu, hari yang tak pernah bisa aku lupakan. Mama dan papa sudah menungguku di ruang tamu, merekapun seperti menunggu seseorang selain diriku.
“Ada apa sih,ma? pa? Tumben amat kok formil begini.” Tanyaku sewot mencari jawab rasa penasaranku.
Tak lama bel rumah berdenting. Papa beranjak membukakan pintu. Aku terbelalak mengapa Bima yang datang. Apakah Bima seorang yang mereka nantikan?
“Malam om, tante.” Bima berbasa-basi sambil mengambil tempat duduk di sebelahku.
“Maaf Bima, kami memanggilmu malam ini. Apa yang akan kami sampaikan sebenarnya orang tuamupun ingin menyampaikannya. Tapi mereka meminta agar kamilah yang menyampaikan hal ini kepadamu, kepada kalian berdua.” Papa memulai pembicaraan…
Mencintaimu memang berat, seberat aku takut kehilanganmu. Namun apa yang mama dan papa katakan kepada kami malam itu sungguh teramat berat, seberat aku memanggul tubuh yang akan kehilangan cinta kami ini. Bagaimana bisa kupelihara cinta yang telah bersemi ini, jika yang kucintai adalah saudaraku sendiri?
Aku berlari ke kamar. Kamarpun terasa sesak dan pengap, namun semua pintu dan jendela kukunci rapat-rapat. Mama berteriak-teriak dari luar kamar, menggedor, memohon, dan mengiba. Aku hanya bisa memandangi foto Bima di atas meja kamarku, memandangi sebuah kemustahilan, menerimanya sebagai calon saudaraku. Bima adalah putra ayahku dengan wanita lain, yang selama ini mereka rahasiakannya dariku. Oh Tuhan Kauubah pelangi senjaMu menjadi bara api yang membakar semua rerimbunan di sekelilingku malam ini. Aku bahkan tak ingin berpihak pada malam atau pagiMu yang akan menjelang … (Bersambung)

________________________________________________________________________________
• Diangkat dari kisah nyata seorang teman yang saat ini sedang dalam penyembuhan psykoterapis di RSJ Lawang.
• Nama dan kejadian sengaja disamarkan, diceritakan dengan tambahan unsur imajinatif penulis
• Semoga dia lekas sembuh dan bangun dari tidur panjangnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun