OTT atau OPP Polri terhadap kemenhub (kelautan) menjadi viral. Â Lantas banyak orang berceloteh tentang pungli, termasuk saya. Â (He he he) Â Kalau bicara tentang pungli (pungutan liar) saya jadi teringat pada Sudomo, di zaman generasi saya. Â Gebrakan Sudomo membuat banyak orang ngeper (menciut/takut) untuk mengadakan pungli. Â Saat itu, sebenarnya, keadaan pungli sudah banyak berkurang. Â Sayang, gebrakannya hanya untuk beberapa saat saja. Â Tidak tahu mengapa tidak diteruskan?!?
Bicara tentang pungli, mungkin itu sudah merupakan 'kebudayaan' kita. Â Perasaan kasih sayang kita terhadap petugas, membuat kita mau mengeluarkan uang. Â Karena kita melihat mereka bekerja untuk kita. Â Ah, masak kita gak memberi ucapan terima kasih?!
Cuman sayang, dari rasa kasih sayang, para petugas tersebut menjadi besar kepala. Â Akibatnya jika setelah melakukan pekerjaannya, dan tidak diberi apa-apa, mukanya jadi muram, kusam, dan kesal. Â Jika yang dilayani masih juga tidak mengerti, maka petugasnya akan bilang 'uang administrasinya, pak'. Â Padahal tidak ada aturan uang administrasi di sana. Â Ya, begitulah mula-mulanya asal pungli. Â
Mengapa pungli menjadi masif (massive) dan susah diberantas?! Â Ada beberapa hal yang menyebabkan hal tersebut. Â
Pertama : Aturan tidak jelas. Â Instansi yang sama, pada wilayah yang berbeda (masih satu provinsi) bisa berbeda kebijakan. Â Mengapa? Â Karena aturan tidak jelas. Â Contoh soal : urus perpanjangan passport aja, harus menyertakan dokumen-dokumen pendukung yang kadang-kadang dicari-cari. Â Mengapa tidak dibuat sederhana? Â Jika sudah ada passport lama, cukup berikan passport lama tersebut dan tidak perlu lagi dokumen-dokumen lain. Â
Kedua : Tidak ada batas waktu selesai. Â Tidak adanya kepastian kapan dokumen kita selesai menjadi kita bertanya-tanya. Â Sementara kita memerlukan dokumen tersebut dan adanya peluang untuk mempercepat pengurusan dokumen tersebut. Siapa lagi yang bisa menawarkan, selain calo dan petugas tersebut.
Ketiga : Tidak ada pengawas yang bisa bertindak. Â Ombusman seperti macan ompong. Â Bisanya hanya menampung keluhan, membuat saran, tetapi tidak tindakan.
Keempat : Tidak ada kekuatan hukum. Â Banyak yang terkena pungli, tidak bisa berbuat apa-apa. Â Ingin mengadu, takut dikriminalisasi. Â Apalagi jika yang ingin diadukan adalah penegak hukum sehingga makin membuat sulit.
Kelima : Tidak ada jaminan bahwa pemberantasan pungli merupakan program yang berkesinambungan. Â Sudomo sudah melakukan, Jokowi baru saja. Â Lihat saja, sampai di mana kekuatan untuk memberantas pungli. Â Pungli hanya bisa diberantas apabila ada keseriusan, keberanian, dan kejujuran. Â Jika setengah-setengah, hasilnya hanya menjadi bahan pencitraan saja.
Banyak tempat yang perlu dijadikan OPP seperti bea cukai, tempat kir, pelabuhan antar provinsi, khususnya tempat-tempat di mana perizinan diurus dan dikeluarkan. Â Semoga Indonesia bisa bebas dari pungli, walaupun untuk itu, saya hanya bisa bilang Wallahu A'lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H