Mohon tunggu...
Chyntia Novy Girsang
Chyntia Novy Girsang Mohon Tunggu... -

"The world is a book, and those who do not travel read only a page" -St. Augustine.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Melancong di Jakarta Yuk!

29 Oktober 2012   09:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:15 1713
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jakarta dengan cuacanya yang terik dan panas, ditambah kemacetannya yang luar biasa seringkali membuat saya tidak begitu tertarik untuk melancong di kota yang menjadi pusat pemerintahan Indonesia ini. Namun akhirnya pada libur Idul Adha kemarin, saya menyempatkan waktu seharian untuk berkeliling ke tempat-tempat yang cukup membuat saya penasaran. Lebih tepatnya, saya melancong ke beberapa tempat di Jakarta yang punya cerita historis dan sudah berdiri lama di kota ini. Dengan berangkat cukup pagi dari rumah, saya membuka perjalanan hari itu dengan sarapan bubur cikini di dekat Stasiun. Konon katanya bubur ini cukup terkenal di Jakarta. Rasanya memang enak. Tak heran, begitu banyak orang yang rela mengantri untuk membeli bubur pada pagi itu.

Tempat pertama yang saya datangi adalah Toko Roti Tan Ek Tjoan. Letaknya di daerah Cikini dan tak jauh dari Taman Ismail Marzuki. Menurut informasi, toko roti ini sudah berdiri cukup lama di kota Jakarta. Sayangnya, waktu saya datang kesini, toko roti ini sedang tutup karena libur hari raya. Untungnya, saya sempat mengobrol dengan seorang Bapak yang pada pagi itu, kebetulan menjual roti Tan Ek Tjoan di gerobak dorong biasa. Pak Bentu Suares, penjual roti itu, cukup banyak cerita tentang toko roti ini.

[caption id="attachment_213657" align="aligncenter" width="432" caption="Toko Roti Tan Ek Tjoan yang Berada di Jalan Cikini (dok. Chyntia Novy Girsang)"][/caption]

Toko roti Tan Ek Tjoan dibangun oleh seorang Tionghoa yang beristrikan orang Belanda, dan toko roti ini sudah berdiri sejak jaman Belanda. Meski sudah dibuka di tempat lain, seperti Bogor dan rotinya sudah dijual lewat pedagang gerobak biasa, masih banyak orang yang membeli langsung ke toko ini. Roti yang paling digemari adalah Roti Poles. Ada beberapa jenis roti yang dijual seperti roti coklat kacang, mocha, kacang, nanas, kismis, srikaya, roti gambang, amandel, dan sebagainya. Roti Gambang ini roti yang ukurannya panjang dan tanpa isi. Pak Bentu Suares adalah orang Timor Leste dan ternyata dulunya adalah mantan bala bantuan ABRI. Beliau cerita banyak tentang sejarah Timor Leste, termasuk kepanjangan dari Fretilin (Frenti Revolusionario Timor Leste Independent).

[caption id="attachment_213659" align="aligncenter" width="576" caption="Pak Bentu Suares dengan Gerobak Rotinya (dok. Chyntia Novy Girsang)"]

13515013381885890975
13515013381885890975
[/caption]

Usai mengobrol panjang dengan Pak Bentu Suares, saya beranjak ke Stasiun Cikini. Kali ini saya akan pergi menuju Kawasan Kota Tua yang cukup terkenal di Jakarta. Saya cukup beruntung hari itu, karena dengan membayar Rp 1.000, saya bisa menikmati commuter AC tanpa berdesak-desakan dan tiba dalam waktu sekitar 15 menit ke Stasiun Jakarta Kota. Nuansa tempo dulu masih terasa sangat kental di Stasiun Jakarta Kota apabila kita memperhatikan arsitektur bangunannya yang masih bernuansa Belanda. Tak jauh dari Stasiun Jakarta Kota, terdapat satu kawasan yang masih banyak terdapat sisa-sisa peninggalan bangunan jaman dulu. Namanya Kota Tua.

Kawasan Kota Tua sangat ramai hari itu. Meskipun panas, tapi tak mengurangi minat masyarakat untuk berkunjung ke salah satu tempat yang menjadi tempat berdirinya berbagai museum lama di Jakarta, seperti Museum Fatahillah, Museum Wayang, Museum Mandiri dan berbagai icon bangunan tua di Jakarta. Berbagai jajanan dijual di tempat ini. Namun saya sedang tertarik untuk mencoba Es Selendang Mayang karena panasnya udara Jakarta siang itu. Saya pun sempat minta dilukis oleh salah satu pelukis sketsa di Kawasan Kota Tua itu. Tak jauh dari pintu masuk Kawasan Kota Tua apabila kita berjalan dari Museum Mandiri, ada seorang pelukis sketsa yang hasilnya sangat bagus. Sketsa dengan satu kepala seharga Rp 40.000, dua kepala Rp 60.000, dan jika tiga kepala Rp 90.000. Kita bisa minta dilukis langsung ataupun melalui handphone atau foto. Beruntungnya waktu itu saya berhasil menawar menjadi Rp 35.000. Hasilnya pun sangat memuaskan. Saya berkeliling mengitari Kawasan Kota Tua yang sangat ramai waktu itu. Beberapa orang sedang bersepeda dan sibuk berfoto di bangunan-bangunan tua di sepanjang tempat ini.

[caption id="attachment_213661" align="aligncenter" width="432" caption="Berbagai Sepeda yang Disewakan Untuk Berkeliling Kawasan Kota Tua (dok. Chyntia Novy Girsang)"]

13515015821566713395
13515015821566713395
[/caption]

Puas berkeliling di Kawasan Kota Tua, saya beranjak ke daerah Petak Sembilan, Glodok. Disini terdapat sebuah Klenteng tertua di kota Jakarta bernama Klenteng Jin De Yuan atau Vihara Dharma Bakti. Dari Pusat Elektronik Glodok, tepat di jalan yang kedua di sebelah kiri, tempat Klenteng Jin De Yuan berada. Saya berasa di Negeri Cina, karena saat memasuki daerah ini, hampir semua toko adalah milik warga Tionghoa. Ketika memasuki jalan menuju Klenteng, hiasan lampion-lampion dipasang di sepanjang jalan. Tibalah saya di pintu samping Klenteng Jin De Yuan. Bau asap dari Hio mulai tercium kuat ketika memasuki pelataran Klenteng. Beberapa orang sedang sembahyang, dan saya baru kali ini menemukan lilin berukuran sebesar manusia.

[caption id="attachment_213663" align="aligncenter" width="432" caption="Nuansanya, Serasa di Negeri Cina (dok. Chyntia Novy Girsang)"]

13515017921600022820
13515017921600022820
[/caption] [caption id="attachment_213669" align="aligncenter" width="576" caption="Lilin-lilin Besar Hampir Seukuran Manusia yang Ditemukan Begitu Memasuki Klenteng Jin De Yuan (dok. Chyntia Novy Girsang)"]
1351502574798254090
1351502574798254090
[/caption]

Satu ritual yang membuat saya sangat penasaran adalah Ciamsi. Diantar oleh salah seorang Bapak penjaga Klenteng, saya diberitahu bagaimana melakukan Ciamsi. Awalnya saya diminta untuk menyebutkan apa yang menjadi keinginan. Lalu saya harus melempar kedua batu yang ada di hadapan saya. Posisi batu harus berbeda baru boleh meneruskan ke ritual mengocok bambu. Kalau posisi batu masih sama, kita harus terus melempar ulang sampai posisi kedua batunya berbeda. Setelah itu saya diminta untuk mengocok bambu. Ada sebuah tempat yang terbuat dari bambu dan menyerupai bentuk kaleng, dimana di dalamnya terdapat puluhan batang bambu yang bernomor. Kita harus mengocok hingga keluar satu batang bambu. Ternyata cukup melelahkan juga bagi orang yang baru pertama kali melakukan Ciamsi. Setelah satu batang bambu bernomor keluar, saya kembali melemparkan batu seperti di awal tadi, lantas menyebutkan nomor yang keluar dan mengucapkan terimakasih kepada Dewa. Kemudian si Bapak pergi sebentar untuk mengambilkan kertas hasil Ciamsi saya.

Tak selesai di Ciamsi, saya juga penasaran dengan ritual orang melepaskan sekawanan burung pipit dari keranjang. Siang itu saya melihat seorang Bapak sedang bersembahyang di pelataran Klenteng dengan memegang sebuah keranjang berisi banyak sekali burung pipit. Tak lama selesai ia berdoa, ia melepaskan burung-burung tersebut. Melihat raut wajah saya yang penasaran, tanpa bertanya-tanya, si Bapak itu menjelaskan maksudnya kepada saya. Bagi mereka, melepaskan burung seperti itu layaknya membebaskan nyawa makhluk hidup yang terkurung. Kadang ada yang melepaskan burung pipit sejumlah usia mereka. Namun dengan jumlah 8 atau 9 pun tak masalah. Harga per ekor burung pipit yang dijual di samping Klenteng adalah Rp 1.000,-. Saya melepaskan 10 burung pipit sebagai pengalaman pertama saya.

Usai dari Klenteng saya mengelilingi daerah Petak Sembilan beberapa lama. Banyak sekali makanan Chinese di sepanjang daerah ini, namun kebanyakan adalah makanan yang tidak halal bagi warga Muslim. Sempat menemukan tukang jualan Nasi Ulam, namun jumlahnya tidak banyak. Di gang ketiga daerah Petak Sembilan, saya juga menemukan beberapa jajanan, namun kali itu saya lebih tertarik untuk mencoba gorengan cempedak yang cukup semerbak harumnya dan dijual panas-panas. Akhirnya, acara melancong hari itu saya tutup dengan sebiji gorengan cempedak dan es potong yang sangat segar di tengah panas teriknya kota Jakarta.

Meski singkat, perjalanan kali ini cukup seru karena ada begitu banyak hal baru yang saya ketahui, dan peribadatan warga Tionghoa adalah satu hal yang cukup unik bagi saya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun