Berita wafatnya seorang ustadz beberapa hari lalu yang telah banyak berkarya dan memberi manfaat bagi umat telah menghentakkan dan meninggalkan kesedihan mendalam tidak hanya bagi keluarga yang ditinggalkan namun juga para sahabat, saudara, rekan dan umat. Wafatnya beliau tidak hanya meninggalkan kesedihan dan rasa kehilangan seseorang yang banyak memberi manfaat bagi umat, namun menimbulkan banyak tanda tanya tentang penyakit yang diderita oleh ustadz tersebut.
Dari setiap kejadian selalu ada ibrah (hikmah atau pelajaran) yang Allah sisipkan untuk hambaNya agar berpikir dan selanjutnya akan memberikan kebaikan bagi umat.
Penyakit hepatitis B dan sirosis hati yang dialami ustadz tersebut bukanlah suatu penyakit langka yang belum pernah didengar orang. Penulis berupaya untuk sedikit mengupas tentang penyakit ini melalui artikel ini.
Organ hati (liver) merupakan kelenjar terbesar dan terberat dalam tubuh manusia (1,44-1,66 kg) dan terletak di perut bagian kanan yang terdiri dari lobus kanan dan kiri, yang di sekelilingnya terdapat kandung empedu, pankreas dan usus. Organ ini bersifat vital dan memiliki banyak fungsi yang bersifat vital, di antaranya berfungsi menyaring darah yang masuk dari organ-organ pencernaan sebelum beredar ke seluruh tubuh. Hati juga berfungsi mendetoksifikasi sisa metabolisme obat dan zat-zat kimia yang kemudian mensekresikannya bersama garam empedu kembali ke usus. Hati juga berfungsi mensintesis protein-protein yang penting sebagai faktor pembekuan darah, dan begitu banyak fungsi lainnya. Â
Penyakit hepatitis sendiri merupakan peradangan pada organ hati yang sampai saat ini menjadi masalah kesehatan masyarakat negara berkembang di dunia, termasuk di Indonesia. Dan hepatitis terbanyak di Indonesia disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B (VHB). VHB telah menginfeksi 2 milyar orang di dunia dan sekitar 240 juta merupakan pengidap virus Hepatitis B kronis. Data Riset Kesehatan Dasar 2012 menyebutkan prevalensi HBsAg (antigen hepatitis B yang terdeteksi positif) sebesar 9,4% menjadikan Indonesia masuk ke dalam kelompok negara dengan angka hepatitis B yang tinggi. Angka kejadian hepatitis B juga meningkat dalam dekade tahun terakhir, dari 9-10,5% pada tahun 1980-1999 menjadi 11-15,5% pada tahun 2000-2010. Indonesia merupakan negara dengan pengidap Hepatitis B nomor 2 terbesar sesudah Myanmar diantara negara-negara anggota WHO SEAR (South East Asian Region).
Vaksin untuk hepatitis B telah tersedia di dunia sejak 1982, namun program vaksin hepatitis B untuk bayi baru lahir secara universal baru dikerjakan di Indonesia sejak tahun 1997. Risiko untuk terjadinya infeksi kronik sangat dipengaruhi usia saat pertama kali terinfeksi. Infeksi hepatitis B yang pertama kali terjadi saat masih bayi (biasanya karena penularan dari ibu ke janin lewat plasenta) akan 90% menjadi kronik (ditandai dengan HBsAg yang menetap > 6 bulan dalam darah), hal ini sebaliknya bila pertama kali terinfeksi saat dewasa maka hanya sekitar 2%-6% yang akan menjadi hepatitis B kronik.Â
Data dari suatu studi metaanalisis yang dilakukan oleh Poororajal dkk. (2010) menunjukkan bahwa efek vaksin hepatitis B (yang dilakukan dengan dosis yang adekuat yaitu 3 dosis atau 4 dosis sesuai jadwal) dapat memberikan proteksi (perlindungan) yang cukup panjang antara 15-20 tahun pada individu dengan sistem imun yang baik tanpa memerlukan booster (pengulangan atau penambahan dosis vaksin) lagi. Hal ini berkaitan dengan adanya suatu sistem imunitas memori yang akan menghasilkan kekebalan bila ada paparan dengan virus hepatitis B. Data ini menunjukkan hanya 0,01% kemungkinan terinfeksi hepatitis B pada individu yang telah divaksin (dan telah terbentuk kekebalan setelah divaksin).
Hepatitis B kronik dapat terus berkembang menjadi hepatitis kronik yang progresif, mengalami fibrosis (penambahan jaringan ikat hati sehingga hati menjadi mengeras) sampai menjadi sirosis dan mengalami dekompensasi hati yang dapat menyebabkan kematian bila tidak menjalani transplantasi hati (cangkok hati) segera. Hepatitis B kronik dapat berkembang menjadi sirosis hati (memerlukan waktu 20-30 tahun sejak pertama kali terinfeksi) kemudian menjadi kanker hati atau langsung menjadi kanker hati tanpa harus melewati fase sirosis hati (hal ini merupakan keunikan hepatitis B karena dapat menjadi kanker hati walaupun belum sirosis hati). Angka kematian akibat hepatitis B kronik ini berkisar antara 0,5-1,2 juta kematian per tahun.Â
Proses penularan infeksi VHB melalui kontak darah atau cairan tubuh yang terinfeksi dengan mukosa tubuh (bisa lewat transfusi darah, hubungan seksual, dan kontak mukosa (lapisan di bawah kulit) dengan peralatan kesehatan yang kontak dengan darah atau cairan tubuh penderita hepatitis B. Infeksi hepatitis B pada individu yang tidak pernah divaksin dapat menyebabkan hepatitis B akut, atau bahkan tidak bergejala sama sekali.
Pasien hepatitis B kronik sekitar 14-30 % akan berkembang menjadi sirosis hati dan komplikasi penyakit hati stadium akhir. Data di Eropa bahkan menunjukkan dari 366 pasien yang diikuti 72 bulan (3 tahun), sekitar 23 % akan meninggal akibat gagal hati atau kanker hati (hepatocellular carcinoma). Angka survival (kemampuan bertahan hidup) berkorelasi dengan usia, kadar albumin, trombosit, bilirubin, ada atau tidaknya splenomegali (organ limpa yang membesar), dan HBeAg (antigen envelope hepatitis B) yang positif.
Dekompensasi Hati (Ketidakmampuan hati untuk berkompensasi/kegagalan hati)
Dekompensasi hati ditunjukkan dengan timbulnya ascites (cairan di peritoneum/ lapisan dalam perut) yang semakin progresif biasanya disertai kaki yang membengkak pula, kuning, atau ensefalopati (kesadaran menurun) atau setelah pecahnya varises esofagus (pembuluh darah di kerongkongan yang melebar). Hal-hal tersebut merupakan perjalanan alamiah infeksi hepatitis B kronik yang telah menjadi sirosis hati. Studi terhadap 96 pasien Asia dalam 3 tahun menunjukkan 29 % pasien akan mengalami dekompensasi hati dalam bentuk 70 % ascites (cairan di peritoneum), 34 % perdarahan varises esofagus, 26 % kuning, 5,2 % ensefalopati (penurunan kesadaran), 29 % lainnya menunjukkan gambaran dekompensasi lebih dari satu gejala. Penyebab kematian terbanyak adalah gagal hati 52,9 %, kanker hati 29,4%, perdarahan varises esophagus 5,9% dan infeksi SBP (Spontaneous Bacterial Peritonitis) atau infeksi pada cairan ascites. Kemampuan bertahan hidup dalam 5 tahun hanya 19 %.
Standar penatalaksanaan hepatitis B kronik saat ini adalah mengendalikan kadar virus dengan obat antivirus (diberikan pada saat yang tepat pada fase yang tepat dalam perjalanan hepatitis B kronik), mencegah progresivitas menjadi sirosis hati dan dekompensasi hati, dan surveilans (skrining sedini mungkin timbulnya kanker hati). Sedangkan pada pasien yang telah mengalami dekompensasi hati perlu investigasi secara detil tentang stadium hepatitis B kronik, mengendalikan kadar virus, mengendalikan tanda-tanda dekompensasi seperti asites, varises esofagus, disfungsi ginjal, penurunan kesadaran, gangguan pembekuan darah, adanya infeksi berat, dan kanker hati. Pada kondisi ini evaluasi tentang kemungkinan transplantasi hati (cangkok hati) sejak dini perlu dilakukan.
Kendala yang sampai saat ini masih menjadi penyulit pengobatan hepatitis B adalah belum tersedianya obat-obat antivirus yang bisa menghilangkan virus hepatitis B secara total dari sel-sel hati akibat keunikan virus hepatitis B ini yang mampu membentuk cccDNA (covalently closed circular DNA) yang dapat bersembunyi di dalam inti sel hati manusia dan terintegrasi dalam kromosom manusia.Â
Kesimpulan yang dapat diambil dari tulisan singkat ini adalah :
• Upaya preventif tetap lebih baik daripada mengobati. Upaya preventif yang cukup efektif adalah dengan vaksinasi sejak dari lahir atau vaksin setelah dewasa bila memang belum pernah vaksin saat masih bayi. Vaksin hepatitis B ini juga mutlak perlu ditekankan pada para petugas kesehatan yang akan banyak terpapar dan pekerjaannya berisiko terinfeksi hepatitis B.
• Skrining terhadap kemungkinan terinfeksi hepatitis B (pemeriksaan HbsAg) perlu dilakukan setidaknya satu kali terutama bagi individu yang terlahir sebelum era vaksin hepatitis B.
• Segera berkonsultasi apabila memang sudah terdeteksi terinfeksi hepatitis B. Jangan meremehkan penyakit ini karena diharapkan berbagai efek jangka panjang hepatitis B kronik dapat dicegah atau dideteksi lebih dini.
Sumber :
- Luvisa BK, Hassanein TI. Hepatitis B virus infection and liver decompensation. Clinics in Liver Disease 2016;(20):681-92.
- Lusida MI, Juniastuti, Yano Y. Current hepatitis B virus infection situation in Indonesia and its genetic diversity. World Journal of Gastroenterology 2016;22(32):7264-74.
- Poorolajal J, Mahmoodi M, Madzadeh R, Moghaddam SN, Haghdoost AA, Fotouhi A. Long-term protection provided by hepatitis B vaccine and need for booster dose:meta-analysis. Vaccine 2010;(28):623-31.
- Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus. Direktorat Jenderal PP dan PL Kementerian Kesehatan RI Tahun 2012.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H