Istilah generasi milenial memang sedang hangat diperbincangkan. Istilah tersebut berasal dari millennials yang diciptakan oleh dua pakar sejarah dan penulis Amerika. Millenial generation atau generasi Y secara harfiah tidak ada demografi khusus dalam menentukan kelompok generasi ini. Namun, beberapa pakar menggolongkan generasi ini ke dalam mereka yang lahir tahun 1981-1996.
Di era perkembangan zaman seperti sekarang, dunia politik harus dapat berkembang lebih baik. Sehingga manusia di tuntut untuk memberi perubahan dengan memberikan pemikiran-pemikiran baru dalam hal itu. Salah satu cara untuk mewujudkan itu adalah dengan melibatkan para generasi milenial dalam dunia politik. Karena generasi milenial, generasi yang sangat akrab dengan teknologi informasi. Walaupun perubahan itu dapat berupa hal baik maupun hal buruk.
Pada tahun 2020 dapat menjadi momentum politik bagi generasi milenial. Dunia politik membutuhkan generasi milenial yang cakap media, tanggap, dan kreatif. Dari hal ini yang mendasari pemerintah untuk aktif melibatkan generasi milenial dalam Pilkada yang akan di laksanakan 9 Desember 2020. Partisipasi politik bukan hanya berupa hak memilih tetapi juga hak berpartisipasi dalam penyelenggaraan demokrasi lainnya. Partisipasi generasi milenial bukan hanya melakukan Gerakan anti golput, melainkan mendorong partisipasi masyarakat dalam pengawasan Pilkada sekaligus sebagai media edukasi politik bagi pemilih pemula (generasi z). Generasi Z sendiri adalah generasi yang lahir antara tahun 1996- 2010 yang masih perlu bimbingan dari generasi sebelumnya dalam dunia politik terutama dalam pemilihan umum. Dengan memberikan edukasi terhadap pemilih pemula di harapkan para pemilih pemula memiliki antusias yang tinggi dalam kegiatan-kegiatan politik lainnya selain pilkada.
Di sisi lain, pandemic Covid-19 melahirkan kebiasaan baru yaitu tingginya aktivitas social media. Hal itu menyebabkan generasi milenial mempunyai peran yang sangat strategis yang dapat di manfaat pemerintah dalam kampanye politik. Para partai politik dapat mempengaruhi para pemilih dengan melakukan kampanye dengan melibatkan public figure, sehingga masyarakat dapat terpengaruhi lalu memilih parpol tersebut dalam pemilihan.
Dikutip dari artikel Bawaslu.go.id yang berjudul “Figur lebih dominan, kegagalan partai politik?”. Tidak dipungkiri pada saat pelaksanaan pemilu 2014 lalu, banyak suara partai yang masuk bukan dilihat dari visi dan misi yang diusung oleh partai tersebut, melainkan adanya sosok atau figure yang dipilih masyarakat, terlepas dari latar belakang apapun partai politik pendukungnya.
Disini dapat terlihat bahwasanya ada upaya atau peran rakyat dalam membantu memegang kendali pemerintah dalam demokratisasi. Demokratisasi sendiri adalah pross pendemokrasian dimana agar rakyat ikut ambil adil dalam system pemerintahan melalui perwakilannya (dewan) atau kelompok kepentingan maupun kelompok penekan baik secara langsung ataupun tidak.
Maka pada pelaksaan Pilkada serentak yang akan berlangsung pada 9 Desember 2020 nanti diharapkan pemerintah dapat melakukannya dengan adil. Karena menurut saya, point penting berjalannya pilkada adalah partisipasi seluruh Lembaga masyarakat dalam penyelanggarannya dan adanya transparansi partai politik serta pemerintah yang terlibat.
Penulis : Chyntia Pradivtasari Utami, Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Malang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H