Sesungguhnya seni bukanlah suatu harga mati, namun RUU Permusikan Indonesia baru-baru ini menjadi begitu menggilis hati. Mengatas-namakan perlindungan, hak kebeban dienyahkan. Mulut dibungkam dan nurani dirajam hingga Indonesia sudah tidak lagi tentram. Hukumisasi seni menyebar di sana-sini, mencari mati nalar-budi hanya demi yang katanya karya bergengsi. Bapak-Ibu DPR, banyak inginmu yang tidak bisa kita terima, sudahkah kita bergerak seirama?
Lisensi mengenai permusikan sebetulnya sudah ada di beberapa negara. Di Singapura seseorang yang melakukan pertujukan musik harus mendapatkan lisensi berdasarkan Bab 257 Public Entertaiment Act. Di Jepang juga ada aturan tentang musik yang fungsinya menghindari pembajakan dan mensejahterakan musisi lokal. Sementara di Inggris, pengaturan tentang musik bertujuan agar musik di sana memiliki nilai ekonomis  tanpa menghambat aspirasi musisinya.
Memang, di era serba streaming ini tentunya kita sadar banyak musisi yang sulit mendapatkan royalti. Tapi apa iya musisi Indonesia membutuhkan ekonomisasi karya? Jawabannya iya sih, tapi....
Berdalih ingin mensejahterakan musisi, RUU Permusikan malah cenderung melanggar hak kebebasan berekspresi. Pasal 5 Jo. Pasal 50 RUU Permusikan ini justru memuat larangan-larangan beserta ancaman pidana yang TIDAK JELAS. Â
Apakah seorang yang membuat lagu dalam bahasa Inggris termasuk kategori membawa pengaruh buruk budaya asing? Apakah lagu Cinta Satu Malam termasuk kategori pornografi? Apakah setelah disahkannya RUU Permusikan Jason Ranti akan dipenjarakan?
Mari kita tanya pada kerang ajaib.
Selain itu, permasalahan lisensi dalam RUU Permusikan menjadi momok yang menakutkan. Jika di Singapura musisi yang melakukan pertunjukan tanpa lisensi akan di denda hampir sebesar 3 Juta Rupiah, bagaimana dengan Indonesia? apa mau didenda juga? Rest in Peace untuk musik Indie dan telinga-telinga yang terberkahi karenanya. Perlu diingat, profesi dan seni adalah dua hal berbeda.
Terlebih pembahasan RUU Permusikan ini tidak lebih matang dari telur ceplok setengah matang. Secara jelas dalam panduan UU No. 12 Tahun 2011, daftar pustaka naskah akademik HARUSLAH buku, peraturan perundang-undangan, dan jurnal. Harus ada penelitian empiris-normatifnya. Bukan dari blogspot dot com, Ferguso! Model seperti itu minta dicoret pakai pulpen merah sama dosen pembimbing?!
Oh, begini saja, sebelum ada lisensi untuk musisi, bagaimana jika ada lisensi jadi calon DPR? Aku sih yes.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H