Angin bertiup menyapu wajah, terasa begitu dingin, mataku menatap hamparan bintang di angkasa luas. Dada ini masih terasa sesak, sesekali kuseka air mata yang menetes disudut mata.
"Hei, kenapa ngelamun? Loh...kamu nangis?" Tegur Kak Siska, mengagetkanku. Aku buru-buru menyeka air mataku "gak, gak apa-apa." Jawabku.
"Bohong kamu, sini cerita!"
"Aku putus."
"Alhamdulilah."
"Loh, kenapa alhamdulilah? Kakak seneng aku putus, aku sedih? Huu.... jahat!"
"Bukan...bukan itu maksudku, gini kata Pak ustad kemaren, kalo kena musibah bilang alhamdulilah. Karena jika kita ikhlas dan nerima maka akan ada hadiah lebih baik. Dibalik kesedihan pasti ada kebahagiaan. Percaya deh sama kakak." Ucapnya sambil mengelus rambutku.
"Ta...tapi Ka...." belum sempat selesai bicara air mata membanjiri kedua pipi dan isakanku makin menjadi.
"Sudah...sudah, mau kakak ceritakan kisah Kakak dulu sebelum menikah?" Aku menganggukkan kepala.
Kak Siskapun lalu bercerita tentang kisah cintanya dahulu.