Mohon tunggu...
Chusnul C
Chusnul C Mohon Tunggu... Freelancer - Peneliti dan penulis lepas

Seorang peneliti dan penulis lepas, menyukai isu lifestyle, budaya, agama, sastra, media, dan pariwisata

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Fenomena Brain Rot dan Upaya Pencegahan yang Bisa Kita Lakukan

24 Januari 2025   12:53 Diperbarui: 24 Januari 2025   12:53 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber: www.amesbostonhotel.com)

Tahun 2024 lalu, viral anak-anak SMP tidak bisa membaca. Fenomena ini bisa jadi adalah dampak terlalu lama menggunakan teknologi dan sosial media yang membuat otak kelelahan atau yang baru-baru ini popular dengan sebutan pembusukan otak 'brain rot'. Tentu dampak negatif ini tidak saja berlaku kepada anak-anak, tapi ke seluruh generasi. Hanya saja, generasi yang lebih tua bisa lebih mengendalikan diri. Karena itu, anak-anak dan remaja menjadi generasi yang paling terdampak. Sialnya, banyak orang tua yang baru sama-sama belajar teknologi yang semakin membuat anak-anak dan remaja semakin tidak terkontrol.

Kecanduan teknologi digital, dikutip dari Journal of Behavioral Addictions, menyebabkan penurunan kemampuan literasi, kesulitan berinteraksi sosial dan menyebabkan peningkatan stress dan kecemasan individu. Pernyataan tersebut didasarkan pada penelitian di berbagai negara seperti di Amerika, Inggris dan Australia. Di Amerika Serikat, 27 persen siswa sekolah menengah tidak dapat membaca dengan baik, dampak dari kecanduan teknologi digital dan media sosial. Sementara di Inggris, 60 persen remaja mengalami kesulitan interaksi sosial. Sementara penelitian di Australia menunjukan sebanyak 45 persen remaja mengalami stress dan kecemasan, sering mengalami halusinasi dan kesulitan mengontrol diri (www.ums.ac.id).

Dari penelitian tersebut bisa ditarik kesimpulan bahwa fenomena 'brain rot' merupakan fenomena global. Namun yang menjadi pembeda di antara kita dan mereka barangkali terletak pada upaya pencegahan dan antisipasi baik dilakukan secara kolektif melalui kebijakan publik maupun dilakukan atas dasar kesadaran individu. Negara Australia misalnya, baru saja mengesahkan undang-undang yang melarang anak usia di bawah 16 tahun untuk mengakses media sosial sebagaimana dikutip dari Kompas.com (01/12/2024).

Selain Australia, negara-negara maju juga memiliki trends yang sama. Norwegia misalnya, telah mengusulkan batas usia anak-anak yang boleh menggunakan platform sosial media dari usia 13 menjadi 15 tahun. Sementara di Uni Eropa, pemrosesan data pribadi untuk memiliki sosial media anak di bawah 16 tahun harus disertai dengan izin orang tua. Hal serupa berlaku di berbagai negara lain seperti Belanda, Jerman, Prancis, Italia dan lain sebagainya.

Kebijakan publik yang dilakukan di negara-negara maju dalam hal pembatasan media sosial, mungkin akan sulit dilakukan di Indonesia yang merupakan negara majemuk dan memiliki gap sosial yang sangat lebar. Maka jika kebijakan negara sulit diharapkan, setidaknya kita bisa menjadi pribadi yang sadar 'aware' dengan fenomena tersebut sehingga bisa mendisipkan diri untuk menghindari 'brain rot'. Berikut ini adalah upaya-upaya yang bisa dilakukan untuk menghindari 'brain rot'.

  • Detoks Gawai

(Generasi Alpha dan Gawainya/ s.wsj.net)
(Generasi Alpha dan Gawainya/ s.wsj.net)
Jika hari ini kalian adalah remaja yang sudah terlanjur tidak terpisahkan dengan teknologi dan media sosial, kalian bisa mencoba untuk detoks setidaknya sekali dalam seminggu untuk tidak memegang gawai. Konsep 'Sabbath' dalam agama Yahudi, Ibadah Jum'at bagi Muslim atau Ibadah Minggu bagi umat Kristiani, atau perayaan hari Nyepi Umat Hindu mungkin bisa diterapkan disini. Jika mereka mengkosongkan agenda kerja satu hari dalam seminggu, atau beberapa hari dalam setahun, kita bisa menggantikannya dengan detoks gawai.  

Kita bisa menggantikan sehari dengan tidak melakukan apapun, atau mengisi dengan hal-hal positif lainnya. Pergi ke pantai, berjemur di bawah sinar matahari pagi, berolahraga, bermain dengan hewan peliharaan, berkebun, membaca buku offline, bisa menjadi pilihan alternatif yang bisa dilakukan ketika detoks.

  • Perbanyak Mendengarkan Podcast Berkualitas 

(Endgame, Gita Wiryawan/d3t3ozftmdmh3i.cloudfront.net)
(Endgame, Gita Wiryawan/d3t3ozftmdmh3i.cloudfront.net)
Penyebab utama menurunnya fokus kita yakni video-video pendek seperti reels sosial median yang membuat orak kita mengalami penurunan daya fokus. Maka upaya untuk menghindarinya bisa dilakukan dengan mengkonsumsi video yang berkualitas yang mengajak kita sebagai audience untuk turut berfikir, turut hadir. Dengan demikian kita tidak terjebak sebatas menjadi penonton, menjadi konsumen. Di Indonesia, ada beberapa podcast menarik yang layak untuk dijadikan tontonan salah satu diantaranya yakni Podcast End Game Gita Wirjawan. Dalam Podcast tersebut, kita bisa ikut terlibat memikirkan berbagai persoalan bangsa maupun global. Kita juga bisa meningkatkan kapasitas kita dalam penguasaan Bahasa Inggris, dan lain sebagainya.
  • Belajar Bahasa Asing

(sumber: educraft.id)
(sumber: educraft.id)
Belajar bahasa asing, apapun itu baik belajar secara serius dengan penuh upaya seperti ambil kursus atau belajar melalui aplikasi, bisa membantu kita untuk tetap menjaga fokus. Selain itu, belajar bahasa asing juga akan meningkatkan daya ingat, meningkatkan kreatifitas, kemampuan komunikasi dan kemampuan berfikir. Tak sekadar itu, dengan belajar bahasa asing, kita juga akan secara tidak langsung meningkatkan kepercayaan diri, dan peluang karir. Lebih luas, ketika kita belajar bahasa asing, kita juga sedang belajar logika berfikir, budaya, dan berbagai hal lainnya yang dimiliki penutur asing.
  • Berkomunitas

Hari ini, banyak sekali manusia yang menjadi zombie, enggan bersosialisasi dan selalu pergi dengan gawai di tangan bahkan ke kamar mandi sekalipun. Fenomena ini terjadi di segala usia, di berbagai belahan dunia manapun. Untuk menghindari hal-hal semacam ini, kita perlu kembali belajar dengan masyarakat tradisional yang selalu berkelompok. Bagi masyarakat modern, kita bisa melibatkan diri pada berbagai agenda sosial, ikut menjadi relawan, atau sekadar berkomunitas. Tentu, berkomunitas disini dalam artian positif misalnya ikut komunitas pengajian, ikut komunitas membaca, ikut komunitas sastra dan lain sebagainya.

  • Belajar Hal-hal Baru

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun