Mohon tunggu...
Chusnul C
Chusnul C Mohon Tunggu... Freelancer - Peneliti dan penulis lepas

Seorang peneliti dan penulis lepas, menyukai isu lifestyle, budaya, agama, sastra, media, dan pariwisata

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Gagap Slow Living

12 Januari 2025   21:45 Diperbarui: 14 Januari 2025   15:27 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Slow Living (Pixabay)

Konsep hidup 'Slow Living' atau gaya hidup yang melambat beberapa tahun terakhir semakin populer dan diminati masyarakat Indonesia terutama generasi muda. 

Gaya hidup melambat pada dasarnya merupakan gaya hidup alternatif yang muncul untuk merespons modernisme yang menuntut segala hal serba cepat dan membuat masyarakat terengah-engah. Gaya hidup yang lebih menekankan kuantitas di atas kualitas.

Gaya hidup serba cepat, sayangnya memiliki konsekuensi seperti gangguan mental, kecemasan, burn out, dan lain sebagainya. Karena itu, muncul berbagai alternatif salah satunya gaya hidup yang melambat. Konsep hidup slow living dianggap sebagai gaya hidup alternatif yang menekankan kualitas hidup. 

Gaya hidup ini sebenarnya sudah lama namun mulai populer di kalangan anak muda terutama pasca covid 19 yang menyadarkan masyarakat pentingnya hidup berkualitas.

Konsep 'Slow Living' semakin terdemokratisasi seiring dengan daya cepat internet, salah satu instruments modernism itu sendiri. Populernya konsep 'Slow Living' terfasilitasi dengan maraknya konsep kerja remote 'Work from Anywhere/ Home' yang juga populer di masa covid. 

Suasana Desa Pagi Hari (Sumber: Dokumen Pribadi)
Suasana Desa Pagi Hari (Sumber: Dokumen Pribadi)

Dengan model kerja remote, masyarakat yang semula hanya bisa mengakses pekerjaan secara langsung yang hanya tersedia di kota-kota besar, kini dimungkinkan untuk bekerja di desa yang lebih tenang, murah namun dengan salary yang layak.

Namun, mereka yang memiliki pekerjaan remote dan memiliki peluang besar untuk 'Slow Living', pada akhirnya harus memilih tempat yang sudah menyediakan fasilitas penunjang baik kelancaran internet ataupun penunjang transportasi. Karenanya tidak semua tempat layak untuk dijadikan tempat 'Slow Living' untuk jangka panjang, atau jika masih harus hidup dan bergantung dengan pekerjaan modern.

Sekilas, konsep 'Slow Living' memang sangat menggiurkan. Mereka yang memiliki peluang kerja remote, bisa mendapatkan klien atau pekerjaan dari manapun dengan pendapatan standar kota, namun hidup di desa yang lebih murah, lebih sehat dan lebih tenang. 

Hal inilah yang kemudian membuat banyak orang berbondong-bondong pindah dari kota ke desa. Sayangnya banyak di antara pelaku 'Slow Living' mengalami kegagapan budaya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun