Konsep hidup 'Slow Living' atau gaya hidup yang melambat beberapa tahun terakhir semakin populer dan diminati masyarakat Indonesia terutama generasi muda.Â
Gaya hidup melambat pada dasarnya merupakan gaya hidup alternatif yang muncul untuk merespons modernisme yang menuntut segala hal serba cepat dan membuat masyarakat terengah-engah. Gaya hidup yang lebih menekankan kuantitas di atas kualitas.
Gaya hidup serba cepat, sayangnya memiliki konsekuensi seperti gangguan mental, kecemasan, burn out, dan lain sebagainya. Karena itu, muncul berbagai alternatif salah satunya gaya hidup yang melambat. Konsep hidup slow living dianggap sebagai gaya hidup alternatif yang menekankan kualitas hidup.Â
Gaya hidup ini sebenarnya sudah lama namun mulai populer di kalangan anak muda terutama pasca covid 19 yang menyadarkan masyarakat pentingnya hidup berkualitas.
Konsep 'Slow Living' semakin terdemokratisasi seiring dengan daya cepat internet, salah satu instruments modernism itu sendiri. Populernya konsep 'Slow Living' terfasilitasi dengan maraknya konsep kerja remote 'Work from Anywhere/ Home' yang juga populer di masa covid.Â
Dengan model kerja remote, masyarakat yang semula hanya bisa mengakses pekerjaan secara langsung yang hanya tersedia di kota-kota besar, kini dimungkinkan untuk bekerja di desa yang lebih tenang, murah namun dengan salary yang layak.
Namun, mereka yang memiliki pekerjaan remote dan memiliki peluang besar untuk 'Slow Living', pada akhirnya harus memilih tempat yang sudah menyediakan fasilitas penunjang baik kelancaran internet ataupun penunjang transportasi. Karenanya tidak semua tempat layak untuk dijadikan tempat 'Slow Living' untuk jangka panjang, atau jika masih harus hidup dan bergantung dengan pekerjaan modern.
Sekilas, konsep 'Slow Living' memang sangat menggiurkan. Mereka yang memiliki peluang kerja remote, bisa mendapatkan klien atau pekerjaan dari manapun dengan pendapatan standar kota, namun hidup di desa yang lebih murah, lebih sehat dan lebih tenang.Â
Hal inilah yang kemudian membuat banyak orang berbondong-bondong pindah dari kota ke desa. Sayangnya banyak di antara pelaku 'Slow Living' mengalami kegagapan budaya.Â