Wisata halal mulai dikenalkan di Indonesia sekitar tahun 2015 melalui Kementerian Pariwisata yang mana wisata tersebut memiliki potensi besar untuk dapat dikembangkan hingga kancah dunia. Secara umum, wisata halal memiliki arti sebagai kegiatan pariwisata yang memberikan pelayanan dan fasilitas dengan mengedepankan nilai-nilai Islami (www.cimbniaga.co.id/id).
Indonesia yang sebagian besar masyarakatnya beragama Islam, tentu dengan tangan terbuka menyetujui gagasan tersebut. Karena ketika kita berwisata, tidak hanya sekedar melepas lelah dan menikmati tempat wisata, namun juga ada hal-hal lain yang menyertainya.
Satu contoh ketika kita ingin makan, sebagai seorang Muslim kita akan mencari tempat-tempat yang bisa menjamin kehalalan makanannya. Begitu juga ketika waktu sholat tiba seperti saat Sholat Dhuhur dan Asar, kita akan otomatis mencari lokasi toilet dan Mushola terdekat. Jika hal-hal tersebut sulit kita temukan, tentu akan terasa tidak nyaman berada di lokasi wisata tersebut.
Indonesia meskipun sebagian besar penduduknya beragama Islam, namun tidak dapat dipungkiri juga bahwa keberagaman beragama juga perlu untuk dapat ditoleransikan. Mungkin jika kita berkunjung ke destinasi wisata di Aceh, Sumatera Barat, atau misal di Kepualauan Riau, yang sebagian besar penduduknya beragama Islam tentu tidak akan kesulitan akan hal-hal yang bercirikan kehalalan tersebut. Masakan Muslim dan Mesjid/Mushola akan sangat dengan mudah kita temukan di wilayah-wilayah tersebut.
Berbeda halnya jika kita berkunjung ke Sumatera Utara (misal ke Pulau Samosir atau ke Pulau Nias), atau mungkin ke area Kuta Bali, kita akan merasakan suasana yang sangat berbeda. Nuansa Islami tidak akan atau jarang bisa kita jumpai di wilayah-wilayah tersebut. Masyarakat lokal yang sebagian besar non-Muslim tersebut, tentu gagasan wisata halal akan kurang begitu diwacanakan di wilayah tersebut.
Sebagai pengalaman, suatu ketika saya mendatangi salah satu kampung budaya di Pulau Samosir. Ketika tiba waktu Sholat Dhuhur saya kesulitan mencari Mushola. Saya tidak akan menemukan Mushola di kampung yang mayoritas penduduknya beragama Kristen/Katholik tersebut. Pun mencari tempat makan halal juga akan sulit ditemukan. Namun satu yang paling saya sukai dalam perjalanan saya tersebut, teman-teman seperjalanan sepertinya cukup paham akan kebutuhan saya yang beragama Islam.
Ketika waktu Dhuhur tiba biasanya disitulah jam makan siang juga dimulai. Kita biasanya akan beristirahat dan kembali ke kota terdekat (misal ibukota kecamatan). Disitulah kita akan menemukan banyak tempat makan Muslim, biasanya kita akan memilih tempat makan Padang agar semua teman dapat makan dengan leluasa. Disitu jugalah biasanya Mushola disediakan. Begitu juga ketika waktu Asar tiba, biasanya kita dalam perjalanan pulang atau kembali ke penginapan. Namun jika waktunya tidak cukup untuk Sholat Asar, biasanya kita akan singgah ke warung kopi. Memang belum tentu warung tersebut menyediakan mushola, dan pada akhirnya kita akan memilih ruang si pemilik warung untuk melaksanakan ibadah.
Pengalaman lain ketika saya berkunjung dan menginap di salah satu hotel di area Kuta, Bali pun saya sebagai wisatawan domestik kurang begitu nyaman berjalan-jalan di area tersebut. Bukan karena penduduk lokalnya yang beragama Hindu, namun karena area tersebut banyak didominasi oleh wisatawan asing. Memang konsep yang disajikan pengelola kawasan tersebut diperuntukkan bagi warga asing, sehingga saya yang orang Indonesia justru merasa asing di negeri sendiri. Ketika saya berjalan kaki menuju pantai saya melihat begitu banyak bar-bar dengan musik keras dan nuasa alkohol yang kental sekali, padahal waktu itu masih sore. Tentu saya yang berhijab agak sedikit kurang nyaman berjalan kaki sendiri di sepanjang jalan tersebut. Ketika saya mampir ke toko souvenir, saya juga kecewa karena dress yang didagangkan semuanya bertema terbuka. Tak ada satupun yang modelnya tertutup di bagian atasnya.
Dua pengalaman yang pernah saya alami itu memang tidak menjadikan saya jera untuk berkunjung kembali ke tempat-tempat tersebut. Saya cukup maklum dengan kondisi yang ada. Saya tidak bisa memaksakan diri agar semuanya mengikuti keinginan saya, sebaliknya justru sayalah yang harus bisa beradaptasi tanpa harus meninggalkan keyakinan saya.
Gagasan Wisata Halal memang sangat bagus untuk dikembangkan, asalkan tidak memaksakan diri dalam menghalalkan semua tempat. Kearifan lokal dan budaya setempat tetap harus dijunjung tinggi. Kita tidak bisa memaksakan diri harus ada bangunan Mesjid/Mushola di kawasan yang notabene merupakan warisan budaya non-Islam. Kita tidak bisa memaksakan diri harus ada tempat makan halal yang tidak menyediakan babi atau jenis makanan lain yang diharamkan dalam agama Islam.