Dalam dunia Arkeologi, banyak hal menarik yang dapat dikaji dari suatu benda atau artefak yang ditemukan. Masing-masing artefak tersebut memiliki keunikan tersendiri dan cara penanganan yang berbeda.Â
Misalnya, jika ada indikasi temuan artefak di dalam tanah, maka para arkeolog harus melakukan ekskavasi dengan berbagai metodenya. Jika ada indikasi temuan artefak (misal: shipwreck) di dasar laut maka para arkeolog harus melakukan penyelaman dan ekskavasi di dasar laut. Pun jika para arkeolog menemukan satu bangunan tua maka survei permukaan dan pendeskripsian detail lebih banyak dilakukan.
Dalam dunia Arkeologi, terdapat satu kajian yang menangani artefaktual  terkait sumber-sumber tertulis seperti prasasti atau naskah kuno. Kajian tersebut dinamakan Epigrafi. Segala temuan atau artefak yang memiliki indikasi adanya tulisan maka akan dikaji oleh kajian Epigrafi tersebut.Â
Dalam kajian Epigrafi, terdapat beberapa metode yang dapat dilakukan dalam mengumpulkan data penelitian. Ketika seorang Epigraf dalam melakukan penelitian menemukan satu prasasti, maka kecenderungannya ia akan melakukan pembacaan langsung di lokasi penemuan.
Namun tidak semua temuan prasasti dan naskah kuno tersebut dapat dilakukan pembacaan langsung di lokasi. Banyak faktor yang menyebabkannya. Kondisi temuan yang aus, cuaca yang tidak memungkinkan, waktu yang dibutuhkan, jarak yang relatif jauh, serta banyaknya artefak yang harus dibaca menjadi alasan utama mengapa para epigraf tidak bisa serta-merta menyelesaikan pembacaannya langsung di lokasi.
Bahkan jika sudah terbacapun, ada rasa ketidakpuasan dan ingin membacanya kembali. Alasan tersebut menjadikan para epigraf harus memikirkan cara lain agar temuannya dapat dibaca kembali tanpa harus kembali ke lokasi penemuan.
Pendokumentasisan menjadi hal yang penting bagi para epigraf. Pemotretan (digitalisasi) langsung terhadap temuan tersebut menjadi hal utama yang harus dilakukan. Selain itu, ada beberapa cara lain yang bisa dilakukan untuk melengkapi pendokumentasian tersebut di antaranya dengan cara abklatsch (penepukan), rubbing (penggosokan), dan casting (pengecoran).
 Dari ketiga metode tersebut yang paling mudah dilakukan adalah dengan cara rubbing. Rubbing atau dalam bahasa Indonesianya diartikan sebagai gosok ini adalah cara yang sudah kita kenal sejak kecil. Dulu saat bermain uang-uangan kita sering melakukan rubbing dengan cara menggosokkan uang koin kita pada selembar kertas dengan menggunakan pensil.Â
Hasilnya kita memiliki bentuk dan gambar yang sama persis dengan uang koin tersebut. Hasil rubbing kita jadikan uang-uangan sedangkan uang koin aslinya kita jajankan. Kita bisa membuat duplikat uang koin tersebut hingga berlembar-lembar kertas.Â
Sama halnya dengan cara tersebut, metode rubbing ini bisa kita terapkan dalam dunia penelitian Epigrafi. Dengan bermodal kertas HVS kita bisa membuat duplikasi prasasti atau batu nisan yang kita temukan. Tentu hal ini tergantung pada bahan atau media dari prasasti tersebut.