Untuk menghindari terjadinya kesalahan sistematis (sistemik), dalam setiap kegiatan belajar mengajar khususnya ilmu eksakta (ilmu pasti) sangat diperlukan adanya kerangka acuan yang disepakati di dalam kelas. Kesalahan sistematik sangat membahayakan untuk sebuah pemahaman. Apalagi ketika kesalahan sistematis itu terjadi pada saat pembahasan mengenai sebuah konsep ataupun konteks perhitungan. Kerangka acuan sangat tergantung dari pemahaman pengamat dan juga pada situasi. Kerangka acuan harus dipillih dengan dasar yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Kerangka acuan secara tidak terperhatikan sering kita implementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, pada umumnya ketika melakukan jual-beli kebutuhan sehari-hari, benda padat selalu menggunakan satuan kilogram bukan liter. Sedangkan, untuk benca cair (cairan) akan menggunakan satuan liter bukan kilogram. Kerangka acuan tersebut benar ketika kita berada di pasar modern (supermarket/minimarket). Tetapi yang harus kita ingat, kerangka acuan itu bisa saja berbeda pada situasi berbeda. Sekali-kali pergilah ke pasar tradisional, maka anda akan ditertawakan ketika membeli beras dengan satuan kilogram atau membeli minyak goreng dengan satuan liter, karena untuk dua contoh tersebut kerangka acuan yang dipakai di pasar tradisional berkebalikan dengan pasar modern.
Anda akan ditertawakan/disalahkan ketika anda tidak menggunakan kerangka acuan yang berlaku di tempat di mana anda berada.
Kemudian, apa yang terjadi pada kelas 2 dengan cerita 4x6 dan 6x4?
Biang kerok di sini terjadi karena adanya perbedaan kerangka acuan antara pemberi pekerjaan rumah (guru) dengan orang yang mengerjakan PR (mahasiswa), kakak dari si siswa kelas 2. Semua sudah tahu bahwa yang mengerjakan PR adalah seseorang yang tidak hadir di kelas ketika membahas tentang bab yang dijadikan PR. Wajar jika dia tidak tahu kerangka acuan yang digunakan oleh guru.
Menurut pemahaman saya, guru tidak sedang mencari jawaban akhir dari operasi 4+4+4+4+4+4 (di mana hasilnya adalah 24). Guru sedang mengajarkan mengenai konteks perkalian, yakni bagaimana perkalian dibentuk dari penjumlahan. Kerangka acuan yang digunakan adalah ketika ada 4 dijumlahkan sebanyak 6x maka notasinya menjadi 6x4 (dari narasi: empatnya ada enam kali), sehingga secara tidak langsung kerangka acuan akan menyepakati bahwa 4x6 terbentuk dari 6 dijumlahkan sebanyak 4x. Di sini sangat terlihat perbedannya, bahwa 4x6 = 6+6+6+6 sedangkan 6x4 = 4+4+4+4+4+4. Secara konteks ini berbeda.
Hal yang diperdebatkan oleh mahasiswa yang mengerjakan PR, itu adalah sifat komutatif dari perkalian, ini belum diajarkan pada Sekolah Dasar kelas 2, karena materi itu adalah pembahasan lanjutan entah di kelas berapa. Jika kita lihat perkasus, pernyataan 4x6 = 6x4 secara konsep betul (sifat komutatif perkalian), tetapi pernyataan 4+4+4+4+4+4 = 4x6 secara konteks ini tidak sesuai kerangka acuan yang disepakati.
Ini contoh konkrit kesalahan sistematis. Kesalahan sistematis akan tak berujung untuk diperdebatkan ketika kedua belah pihak tidak menyepakati kerangka acuan yang dijadikan dasar dalam penyelesaian masalah.
Berhati-hatilah ketika membantu mengerjakan PR/tugas orang yang tidak sekelas dengan kita. Sekian.
Huzain, M. F.
Sebelum mengetahui ada berita tentang hal ini, saya pernah memposting tentang tiga tipe kesalahan mahasiswa dalam menjawab soal. Jika dikaitkan dengan hal ini, kesalahan ini adalah kesalahan tipe ke tiga, di mana mahasiswa tahu (maksud) apa yang diinginkan soal, dia menulis jawaban dengan benar, tetapi tidak menjawab pertanyaan alias tidak nyambung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H