Mohon tunggu...
Nisa Rahmalia
Nisa Rahmalia Mohon Tunggu... -

be a great mom, journalist and cinematografer

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Wajahmu Buram Tapi Sikapmu Membekas

24 Mei 2012   09:57 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:52 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Adakah cermin diantara kita? Pembatas yang menjulang seperti benteng dalam tralis besi. Sulit untuk bernafas, bahkan sangat sesak diantara rangkaian alas yang begitu dingin. Kepulanganmu sangat aku tunggu hingga air mata ternyata tak kunjung habis. Entah berapa milli Tuhan memberikan air mata hingga tak kunjung kering. Kali ini nafasku menjadi sakit, betapa tidak kau tak menggenggam jemariku lagi kali ini. Apakah kau masih bernafas disana? Saat raga ini sangat perih dengan hingar bingar cerita dan saat ini pula ragaku betapa pilu menjadi sampah bau busuk olehmu. Serendah itukah diriku dimatamu? Semoga kau baik-baik saja disana.

Meski kau melepas genggamanmu, aku tetap mendo'akan yang terbaik. Bagaimana tidak, kau memberikan kebahagian kepadaku, walau itu dahulu. Saat cinta kau dan aku sangat menggelora. Kau pun mengajarkan kesabaran akan segala sesuatu yang tidak terlepas dari sebuah proses. Ingatkah itu? Semoga dan terus aku berharap kau mengingat kalimat bahwa kau akan selalu menyayangiku. Selalu!!

Waktuku tak panjang, mungkin esok pun aku tak bertemu mentari lagi bahkan mungkin aku tak bisa bertemu detik pertama di awal hari. Kau tahu bahwa kematian itu tiba-tiba dan tak ada yang tahu kapan waktunya. Aku fikir pekerjaan dan pendidikanmu menjadikanmu berbeda dengan yang lainnya. Nyatanya, hal itu bukanlah pertimbangan.

Apakah nafasmu se-sesak nafasku?

Apakah tubuhmu se-lelah tubuhku?

Apakah harga dirimu se-rendah ikan asin yang terhampar?

Apakah kau ingin berubah seperti kau mengharapkanku berubah saat dahulu? Kenapa diam saja? Kenapa? Apakah terlalu sulit untuk berkata jujur kepadaku? Kenapa tidak bergerak? Apakah kau terlalu lemas hingga tak bernyali sedikitpun?

Bagaimana aku mengerti jika kau diam saja, kau lari, kau pergi jauh ke tempat asalmu. Begitukan sikap bijaksana seorang pendidik? Bukankah kejujuran itu lebih baik daripada diam tapi tak jujur, meski jujur itu menyakitkan karena kau mengajarkan hal itu padaku. Masih ingatkah kau?

Saat pagi menjelang kau menggangguku, aku kira seperti itu. Tapi kau mengajakku berdialog dengan Tuhan di seperempat malam. Kau mengajakku bagaimana indahnya malam saat bersama Tuhan. Kau menggenggamku dengan do'a. Kau mengajakku menari diantara waktu yang begitu tak terasa kita lalui. Tentangmu dan tentangku. Walau sama-sama kita tahu hal tersebut.

Saat siang menjelang kau tetap menggangguku dengan setiap kata penyemangat dan malam datang kau menggangguku mengucapkan do'a. Semoga kau ingat hal itu karena wajahmu masih sangat buram dalam mata kasatku tapi sikapmu tak bisa aku lupakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun