Schumi sang legenda F1 kini sedang berjuang dalam koma-nya yang dia derita akibat kecelakaan saat bermain ski. Meskipun dilaporkan bahwa tim dokter berhasil membuat keadaannya stabil, Schumi tetap menghadapi risiko menderita lumpuh, epilepsi, amnesia, atau yang terburuk adalah kematian.
Ketika sedang berjaya sebagai seorang pembalap jet darat, siapa yang sanggup meragukan kemampuan Schumi dalam memacu kendaraannya secepat kilat, yang mana kemampuan itu memerlukan suatu tingkat konsentrasi, daya reflek, kecepatan berpikir dan juga stamina di atas rata-rata kita? Tetapi kini semua kemampuan itu terancam hilang. Segala yang melekat pada diri Schumi, yang membuatnya menjadi pembalap hebat, fana, bukanlah miliknya yang sebenarnya, melainkan hanya hak guna yang kelak—cepat atau lambat—pasti harus berpisah darinya.
Schumi hanya cerminan dari diri kita sendiri: apa yang kini melekat pada kita, predikat-predikat, kemampuan, kejayaan, semua itu sementara. Kita tak bisa mengatakan bahwa tubuh yang jasmani dan batin ini adalah milik kita, usia muda kita adalah diri kita, segala pencapaian kita adalah AKU kita. Karena, jika benar tubuh milik kita, maka kita bisa mengatakan kepadanya untuk jangan sakit, untuk jangan menua, untuk tetap bugar sepanjang masa. Tapi apakah kita bisa?
Kita menjalani kehidupan sebagai hak guna, bukan hak milik. Tubuh menua atau sakit sesuai dengan situasi dan kondisi yang tepat, dan hal itu berada di luar kendali kita. Kemampuan-kemampuan yang kita “miliki” yang menyebabkan kekaguman orang-orang sehingga kita dijuluki si hebat, si tangkas, si keren, semua itu fana dan cepat atau lambat pasti akan berubah, memudar dan lantas lenyap menyisakan kita yang tua, yang bahkan untuk sekadar berjalan pun harus menggunakan tongkat.
Menakutkan? Menyedihkan? Pesimistis?
Ah, tidak! Ini kenyataan hidup, kebenaran yang tak terbantahkan bahwa hidup bukanlah milik kita dan segalanya tak kekal. Justru dengan menyadari kebenaran ini kita bisa menjalani hidup dengan lebih bijak dan ringan: kita tak menjadi sombong manakala berada di puncak kejayaan, dan kita tak terpuruk dalam derita saat roda sedang bergerak ke bawah. Dan karena menyadari apa pun bukanlah milik sejati, kita mudah melepas, memberi dengan spontan kepada mereka yang layak menerima. Hal-hal itu, bersikap rendah hati dan dermawan, mengundang hadirnya kebahagiaan dalam kehidupan kita. Lalu, apanya yang menyedihkan?
090114
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H