Kematian adalah
peristiwa biasa.
Karena semua yang miliki
sifat mati, mati!
Saat pembuahan terjadi
unsur-unsur bertemu,
berpadu menjadi paduan.
Ketika kita mati,
unsur-unsur terurai,
berpisah menjadi pisahan.
Tatkala kita bernapas,
kita hirup udara dan napas pun masuk,
yang pada saatnya harus kita hembuskan dan
napas pun keluar.
Masuk, keluar.
Hidup, mati.
Temu, pisah.
Apa yang aneh?
Apa yang luar biasa?
Kematin itu biasa,
karena ia pasti.
Kematian mendatangi semua yang hidup.
Tetapi bila demikian halnya,
bila kematian itu biasa saja,
mengapa pada sebagian kisah
kematian diiringi tangis dan raungan
yang menyayat hati?
Banjir air mata dan dukacita?
Tanyamu.
Pada bait ini, kawan,
aku tak hendak menggurui atau
lancang karena berterus terang.
Percayalah, niatku tulus ingin berbagi
sudut pandang.
Raungan dan tangis,
juga banjir air mata
dan dukacita itu, kawan,
terjadi bukan karena seseorang
menangisi yang telah berangkat pergi.
Melainkan ia justru sedang
menangisi nasibnya sendiri,
karena kini ia atau mereka
tak lagi bisa jumpa dengan yang telah mati.
Karena kini ia atau mereka,
"terpaksa" menyadari bahwa cepat atau lambat,
kita semua pasti mati!
Chuang 040323
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H