Ketika waktunya semakin dekat untuk meninggalkan kehidupan-Nya yang terakhir ini, Sang Guru meminta disiapkan sebuah pembaringan di antara dua Pohon Sala kembar di Kusinara, kota kecil yang dipilih-Nya untuk perjalanan terakhir ini.
Di luar musimnya, pohon-pohon itu serentak memekarkan bunga yang menyirami tubuh Sang Guru yang berbaring di bawahnya. Di udara terdengar suara musik surgawi, dan serbuk harum dari surga menyebar bersama angin.
Menyaksikan peristiwa itu, Sang Guru berkata kepada para siswa bahwa bukan seperti itu cara menghormat Tathagata. Bukan puja dan pujian, juga bukan kemegahan dan kebesaran yang pantas dipersembahkan kepada Sang Guru sebagai bentuk penghormatan tertinggi. Melainkan, bila setiap siswa awam maupun monastik dengan giat dan bersemangat mengikuti setiap petunjuk yang telah dibabarkan Sang Guru, meraih tujuan yang seharusnya diraih, menyelesaikan hal yang seharusnya diselesaikan, itulah penghormatan tertinggi bagi Sang Guru.
Kita lihat, dari sebuah fragmen dalam perjalanan hidup-Nya itu, Sang Guru telah menegaskan pada kita bagaimana kita seharusnya menghormati-Nya.
Bagi Sang Guru, pemujaan luar tidak sepenting daya upaya yang sungguh-sungguh dan pantang menyerah untuk menggapai Pantai Seberang, kebebasan sejati yang telah Beliau tunjukkan jalannya kepada kita. Sang Guru mampu menemukan Sang Jalan dan tercerahkan sempurna berkat perjuangan yang amat sangat lama nan tak terperikan beratnya, jadi sudah sewajarnya kita menghargai jerih payah-Nya dengan berusaha sebaik-baik mampu kita menapaki Sang Jalan sehingga pada akhirnya kita tiba pada tujuan yang sama dengan yang telah Beliau raih. Dan itulah bakti terbesar kita pada Guru kita, rasa terima kasih yang paling pantas atas jasa-jasa-Nya kepada kita.
Sang Guru tak menuntut kita membangun patung diri-Nya yang megah menjulang tinggi. Alih-alih, Beliau ingin kita bersikap rendah hati, sederhana dan ramah pada setiap makhluk.
Sang Guru tak memerlukan wihara mewah berlapis emas bertahta permata nan kemilau, yang puncak-puncak stupanya menjulang tinggi ke langit. Karena kemewahan seperti itulah yang Beliau tinggalkan demi kebebasan sejati yang tak ternilai. Alih-alih, Beliau ingin kita membangun wihara dalam diri kita, sebuah pernaungan sejati yang tak tergoyahkan, yang fondasinya adalah moralitas; tiang penyangganya adalah samadhi; puncak-puncaknya ialah kebijaksanaan,
Sang Guru ingin kita semua, para makhluk hidup, bahagia. Bebas dari rasa sakit dan mara bahaya, bebas dari penderitaan batin, bebas dari penderitaan jasmani, dan dapat menjalankan kehidupan kita dengan bahagia. Dengan kata lain, atas dasar welas asih-Nya, Beliau ingin kita meraih kebahagiaan tanpa tapi seperti yang telah Beliau dan para murid suci-Nya raih. Karena peraihan kebahagiaan tanpa tapi itulah satu-satunya solusi mutlak bagi penderitaan kita. Dan ketika kita bertekad menapaki Sang Jalan, saat pada akhirnya kita meraih tujuan sejati, itulah ungkapan kasih kita yang paling pantas atas segala-galanya yang telah Beliau berikan.
Chuang 260510
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H