Pagi hari ini tiba seperti biasa. Di perumahan di kota ini, setiap pagi adalah pagi yang biasa, yang membosankan. Tak seperti pagi dari cerita-cerita yang aku dengar dari kampung-kampung di ujung sana, yang dihiasi oleh embun dan kicauan burung, yang sinar mentarinya berwarna keemasan dan udaranya bersih berbau tanah. Memang agak klise dan sentimental, tetapi bukankah hidup ini sendiri juga klise? Aku sungguh-sungguh berharap, suatu ketika nanti dapat merasakan suasana pagi seperti itu.
Pagi yang biasa seperti hari-hari yang lalu, aku pergi mengambil koran dan duduk di teras rumah sambil menghirup kopiku. Kubuka lembaran koran, dan seperti biasanya, selalu aku temukan berita-berita yang itu-itu saja. Sepasang pengantin baru tewas tertabrak mobil mabuk, seorang hakim terbunuh oleh para pembunuh bayaran, anak mantan presiden mengalami diare saat jaksa hendak membacakan tuntutan atas kejahatannya, pejabat korupsi tanpa malu-malu dan seorang ketua partai ketahuan berbohong lagi. Walah! Dengan kesal kulempar koran itu masuk ke keranjangnya. Plung!
Sering sekali kenyataan dalam keseharian hidup di negeri ini, membuatku ingin mengamuk, membanting atau menendang apa saja dan siapa saja yang ada di dekatku. Betapa tidak! Ini negeri tempat orang-orang mengaku percaya kepada Tuhan yang diyakininya. Ini negeri tempat rumah-rumah peribadatan dibangun di mana-mana, di setiap kota di setiap desa di pelosok-pelosok dusun. Tak di pesisir pantai, tak di pedalaman, tak di pegunungan, setiap orang memuja Tuhan dan memanggil-manggil nama-Nya. Tetapi dengan sertamerta pula kau kan lihat, kemunafikan dan kekejaman yang bahkan dilakukan atas nama-Nya. Betapa hinanya! Aku muak dan ingin muntah. Cepat-cepat kusingkirkan kopiku, lalu segera mandi untuk berangkat kerja.
Pagi hari di perjalanan di kota ini juga sesuatu yang biasa: macet dan polusi. Entah orang-orang datang dari mana dan hendak ke mana, setiap pagi selalu begini. Semua hendak pergi ke suatu tempat untuk suatu urusan yang kadang-kadang dianggap paling penting dibandingkan urusan orang lain. Semua ingin cepat, semua ingin diutamakan, maka terciptalah kemacetan nan semrawut. Suara-suara klakson tanda ketidaksabaran pun berbunyi saut menyahut, bagai gonggongan anjing liar. Dan di tikungan sana, braak! Astaga! Ada darah yang tercecer milik seseorang yang baru saja tertabrak.
Kembali aku dihadapkan pada kenyataan, bahwa ajaran luhur yang dianut orang-orang di negeri ini, tentang aku adalah kamu dan kamu adalah aku dan kita semua bagian dari alam dan alam merupakan bagian dari kita, tak pernah diingat oleh para pelafalnya. Bukankah bila kita bersedia selalu ingat akan ajaran luhur itu, tak perlu ada ketidaksabaran dan keegoisan nan picik seperti yang terjadi pagi ini? Bukankah bila kita selalu ingat akan ajaran luhur itu, kita akan senantiasa menghargai kehidupan orang lain setinggi kita menghargai kehidupan kita sendiri?
Aku meneruskan perjalanan. Kiri kanan sepanjang jalan, yang kulihat hanyalah deretan pertokoan. Bagai belenggu yang merantai kota ini, begitulah pertokoan telah merampas ruang terbuka tempat semua ketegangan dikendurkan. Kota ini terkepung oleh pertokoan. Dan barangkali jumlah pertokoan di kota ini, lebih banyak dari jumlah mereka yang mampu membuang-buang uangnya untuk membeli mimpi di mal-mal. Begitu banyak dan begitu besarnya pertokoan di kota ini, begitu penuh segala macam barang di sana, menyebabkan aku sering berpikir: apakah dalam hidup ini kita memang membutuhkan segala macam barang itu? Ataukah apa yang kita anggap sebagai kebutuhan saat ini hanyalah mitos belaka yang diciptakan oleh kaum kapitalis?
Aku tidak tahu, tiba-tiba sebuah BMW melintas didepanku. Uh, manusia modern. Betapa kita telah ditipu oleh mitos-mitos gaya hidup modern, bahwa seseorang yang ingin dikatakan sukses haruslah memakai jam tangan merk anu, mobil keluaran pabrik anu dan parfum dari negeri anu dengan nama perancangnya si anu.
Pagi hari ini mulai menjadi siang, aku sampai juga di tempat kerjaku. Baru selangkah dua melangkah, tak dinyana bossku sudah menunggu di ambang pintu. Mukanya kecut, ditekuk dua kali dengan bentuk mulut yang aneh. Uh, pagi ini benar-benar membosankan....sekaligus menyebalkan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H