[caption id="attachment_321300" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber gambar rudiyanto.blog.kontan.co.id"][/caption]
ads
Sabtu lalu (26 Maret 2011) adalah hari terakhir tur ceramah Ajahn Brahm di Indonesia. Dari pengalaman saya mengikuti setiap ceramahnya yang dilangsungkan di Bali, tampak jelas bahwa dibandingkan dulu saat buku Si Cacing pertama masih memakai judul dan konsep sampul lama (“Membuka Pintu Hati” dengan sampul yang bergambar langit dan sebuah pintu ajaib yang mungkin akan mengingatkan orang pada pintu ajaib milik Doraemon) Ajahn Brahm dan bukunya kini telah menjelma menjadi sosok dan sesuatu yang fenomenal bukan saja untuk kalangan terbatas seperti dalam dunia penerbitan dan komunitas Buddhis di Indonesia. Jika dulu ketika buku “Membuka Pintu Hati” pertama kali diterbitkan dan dalam waktu singkat laku keras hingga harus cetak ulang, menjadi rekor tersendiri dalam dunia penerbitan buku Buddhis waktu itu, kini untuk buku-buku lanjutannya hal itu tidak lagi sesuatu yang istimewa. Dan untuk menghadiri ceramah Ajahn Brahm pun kita harus cepat-cepat mendaftarkan diri (jika tak dipungut biaya) atau segera membeli tiketnya jika tak ingin kehabisan. Ajahn Brahm telah menjadi semacam selebritas yang tak kalah pamornya dari selebritas dunia.
ads
Namun begitu, mungkin ada banyak di antara penggemar Trilogi Si Cacing yang belum mengetahui seperti apa cerita di balik penerbitan serial yang telah banyak mengilhami pembacanya. Pada bagian berikut saya akan coba menceritakan kembali apa yang salah ketahui dan alami sebagai salah satu penerjemah dan perancang sampul dari serial ini, yakni untuk buku pertama yang dulu berjudul “Membuka Pintu Hati”. Penuturan berikut ini hanyalah berdasarkan ingatan saya yang lumayan payah, jadi barangkali ada beberapa hal yang meleset di sana sini dan perlu dikoreksi lagi. Tapi intinya saya hanya ingin berbagi kenangan ini kepada seluruh penggemar Trilogi Si Cacing dan mereka yang telah tersembuhkan “cacingan”-nya gara-gara membaca buku-buku ini.
ads
Kilas Balik
ads
Pada mulanya adalah internet: terpujilah mereka yang telah menciptakan teknologi bernama intenet ini!
ads
Ketika awal-awal saya mengenal internet pada tahun 2000, saya banyak bergabung di mailing list. Pada masa itu, mailing list bisa dikatakan salah satu tempat paling populer di internet, mungkin mirip dengan kepopuleran facebook atau twitter sekarang. Kini pun mailing list masih ada, hanya saja pamornya terus menurun dan bisa dikatakan nyaris tak dikenal oleh para generasi alay yang hobi galau J. Bagi yang kurang mengerti apa itu mailing list atau milis, milis mirip seperti grup dalam facebook (saya tidak tahu apa namanya di twitter, soalnya saya tidak suka berkicau J). Dan salah satu dari sekian milis yang saya langganani adalah MABINDO, dan di milis itu ada salah satu anggota yang cukup rajin mempostingkan terjemahan-terjemahan ilegal dari buku berjudul “Opening The Door of Your Heart” yang ditulis oleh seorang biksu bernama Ajahn Brahm.
ads
Meskipun terjemahannya kurang baik (karena mungkin dikerjakan terburu-buru), tapi masih bisa dipahami dan dari sejak awal membaca serangkaian posting itu saya sudah jatuh suka dengan kisah-kisahnya dan berangan-angan: andai saja ada edisi bahasa Indonesia dari buku ini, pasti akan keren sekali. Juga, saya membayangkan andai Ajahn Brahm bisa datang ke Indonesia dan berceramah, saya pasti akan datang bertemu dan mendengarkannya. Pada waktu itu angan-angan saya terasa amat mustahil karena bahkan mengenal siapa itu Ajahn Brahm pun tidak. Saya hanya tahu, melalui serial posting terjemahan tak berijin itu, bahwa ada buku bagus berjudul “Opening the Door of Your Heart” dan biksu bule bernama Ajahn Brahm.
ads
Oh ya, karena jasa internet pula saya bisa berkenalan dengan seseorang bernama Surja Handaka. Persisnya adalah dari sebuah milis yang beliau buat bernama Iluminata. Milis ini berisikan posting-posting cerita-cerita inspiratif dan menerima kiriman cerita inspiratif dari para anggotanya. Karena saya rasa punya beberapa cerita inspiratif yang saya tulis sendiri, saya iseng-iseng mengirim beberapa esai saya dan dari sanalah kemudian bisa berkenalan dengan beliau. Selanjutnya saya tahu bahwa ternyata Pak Surja Handaka adalah pendiri Ehipassiko yang menerbitkan buku-buku Buddhis bekerja sama—ketika itu—dengan penerbit Karaniya. Saya pikir mengapa tidak saya coba sarankan Pak Surja untuk menerbitkan versi bahasa Indonesia dari buku “Opening the Door of Your Heart”? Saya akan berusaha meyakinkan beliau untuk menerbitkan buku itu karena saya amat ingin bisa membaca buku bagus seperti itu dalam bahasa ibu saya sendiri (soalnya, saya tidak becus membaca dan bicara bahasa bule, hehehe…). Anda tahu apa yang terjadi kemudian? Mengejutkan! Betapa mengagumkan cara hukum karma menjalankan aksinya! Bukan hanya saya tak perlu susah payah membujuk, sebelum saya sempat mengirim email yang berisi saran-saran itu, Pak Surja—entah dari mana beliau mendapatkan informasi—sudah lebih dulu tahu tentang buku itu dan mengirim email kepada saya yang isinya: “Chuang, mau gak jadi penerjemah buku “Opening The Door of Your Heart”?”
ads
APA? MENJADI PENERJEMAH BUKU BAGUS ITU? Mimpi, kalee yee? Saya buru-buru membalas email itu, menyatakan kekagetan saya disodori tawaran seperti itu karena saya tahu diri tidak punya kemampuan dan latar belakang pendidikan bahasa Inggris. Bahasa Inggris saya,kasaranya,adalah level “yes” “no” “iam fine, thankyou”. Tapi entah apa yang mendorong Pak Handaka menawari sodoran seperti itu kepada saya, orang yang hanya beliau kenal melalui dunia maya dan tidak punya kemampuan berbahasa Inggris yang cukup untuk menerjemahkan sebuah buku, sampai detik ini saya tidak tahu (lupa nanya terus atau merasa tidak penting menanyakannya, hehehehe…). Yang terjadi kemudian adalah beliau mendorong saya untuk berani dan beliau bilang akan tanggung apa pun nanti hasilnya. Maka, karena itu, saya pun maju tak gentar mengarungi samudra kata-kata untuk menerjemahkan naskah buku itu dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Untungnya saya punya kamus Inggris- Indonesia yang bagus. Tapi ternyata menerjemahkan bukan sekadar soal mengartikan satu kata menjadi kata lainnya. Ada banyak aspek yang harus diperhatikan dan itu, sebagai pengalaman pertama, amat memusingkan saya. Beberapa kalimat atau kata saya terjemahkan 180 derajat berbeda dari arti yang seharusnya. Akibatnya, Pak Handaka sebagai penyunting ikut pusing (maaf ya, MoM, hehehe..). untungnya, saya cukup banyak dibantu oleh posting-posting serial terjemahan ilegal yang saya dapatkan dari milis MABINDO dan masih saya simpan (Terima kasih untuk Ronny H Winata atas “contekannya”, hehehe…) meskipun memang harus saya edit dan perbaiki lagi terjemahan itu. Pada akhirnya, sebagai pemula hasil terjemahan saya dianggap cukup memadai dan dapat diterima. Senang sekali.
ads
[caption id="attachment_321302" align="alignright" width="300" caption="Sumber gambar www.dharmaduta.com"]
Selain menerjemahkan, karena sampul asli dari versi Inggrisnya dianggap kurang keren, saya pun merancang sampul edisi Indonesia yang versi awalnya diberi judul “Membuka Pintu Hati”. Saya memakai langit biru nan luas sebagai hati dan pintu ya sebagai pintu. Pintu yang saya gambarkan berbingkai kuning…rasanya cukup akrab, kan? Ingat bingkai kuningnya National Geographic? Hahahha..
ads
Nah, setelah itu adalah awal dari cerita sukses: segera saja buku “Membuka Pintu Hati” menjadi buku Buddhis terlaris dan Ajahn Brahm diundang datang ke Bali untuk berceramah bersama Bhante Pannyavaro, saya bertemu, berfoto bersama beliau dan bahkan mendapatkan tandatangan dan pesan-pesan dari beliau di buku “Membuka Pintu Hati” milik saya (terima kasih buat Zendy Wibawa, atas bantuannya saya bisa bertemu dan berfoto dengan Ajahn Brahm)! Wow! Tapi…hehehe…saya harus mengaku sebuah “dosa”, nih. Ketika awalnya saya membaca pesan-pesan yang ditulis Ajahn Brahm di buku itu, saya merasa beliau tidak serius, berlebih-lebihan. Tapi kini, kecuali bagian pujian yang mengatakan “Chuang the Great Translator”, saya pikir sisanya beliau serius mendoakan saya seperti apa yang telah beliau tulis itu. Dan saya merasa banyak mendapatkan berkah setelah menjadi penerjemah buku itu.
[caption id="attachment_321301" align="alignleft" width="300" caption="Tandatangan dan Pesan Ajahn Brahm"]
ads
Lalu, setelah beberapa bulan “Membuka Pintu Hati” beraksi membuka pintu hati setiap orang dengan kisah-kisahnya yang lucu sekaligus inspiratif, akhirnya buku itu sampai ke tangan seseorang yang-seperti banyak pembaca lainnya—juga terbuka pintu hatinya. Begitu terilhaminya orang ini dengan kisah-kisah yang dituturkan Ajahn Brahm membuatnya tergerak untuk memberikan sejumlah uang yang cukup aduhai besarnya kepada penerbit dengan instruksi: cetaklah buku ini sebanyak jumlah uang ini dan bagikan secara tak ternilai (bukan gratis, tapi TAK TERNILAI) kepada siapa pun yang menginginkannya. Maka, jadilah sebuah versi sampul keras buku “Membuka Pintu Hati” beredar bersamaan dengan versi sampul lunak yang dijual bebas. Dan beruntungnya, saya pun mendapatkan sebuah versi sampul keras itu untuk melengkapi koleksi saya, haha…
ads
Dan kemudian, setelah 2 atau 3 tahun beredar dengan judul “Membuka Pintu Hati” dan sampul bergambar pintu ajaib ala Doraemon, Pak Handaka mendapatkan ide cerdas untuk mengubah judul, rancang sampul dan menyunting ulang isi buku itu agar lebih bisa dimengerti oleh kalangan non-Buddhis. Tujuannya mmang demi menjangkau pasar pembaca yang lebih luas daripada sekadar hanya berkutat di dalam komunitas Buddhis atau mereka yang tertarik dengan spiritual. Maka, dipilihlah judul yang funky, salah satu cerita paling konyol dari buku itu: “Si Cacing dan Tahi Kesayangannya”. Ketika Pak Handaka mengutarakan rencana itu kepada saya, saya menyambutnya dengan bersemangat. Saya hanya minta agar kata “tahi” diganti dengan kata “kotoran” demi alasan kesopanan. Bagaimanapun, kita kan punya budaya Timur, ya kan? Semula Pak Handaka bersikukuh mempertahankan kata “tahi”, mungkin biar lebih heboh dan kehebohan adalah salah satu resep marketing yang top. Tapi ketika buku itu akhirnya terbit dengan sampul bergambar si cacing tengil, judulnya menjadi “SI Cacing dan Kotoran Kesayangannya”, hahaha…
ads
Apa yang terjadi setelah itu, pembaca? Setelah sebuah pintu disihir abrakadabra menjadi cacing tengil penggemar kotoran, tiba-tiba banyak orang menjadi keranjingan si cacing. Trik marketing “berani mati” juga diterapkan dengan memberi garansi uang kembali apabila pembeli buku merasa tidak mendapatkan manfaat dari buku tersebut. Tapi saya tidak tahu, sejauh ini, apakah ada orang-orang yang merasa “obat cacing” ini tidak manjur buat mereka dan meminta uangnya dikembalikan. Selain itu, peneribit juga membuat sebuah blog untuk menjaring komentar-komentar dari para pembaca dan menawarkan hadiah berupa kaos si cacing bagi siapa pun yang komentarnya dimuat di blog tersebut. Perpaduan judul yang funky, rancang sampul yang menarik dan isi yang telah disesuaikan bagi kalangan pembaca yang lebih luas membuat buku “Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya” meraih popularitas yang mungkin belum pernah dicapai oleh buku Buddhis mana pun dalam era kita.
ads
Sampai di sini, tampaknya, segala sesuatu sudah diraih. Benar begitu? Oh, belum! Sejak dari mulai populernya novel “Laskar Pelangi” yang mendapat promosi luas khususnya di acara Kick Andy, saya berangan-angan seandainya saja Ajahn Brahm bisa dihadirkan di acara itu dan di akhir acara si kribo Andy, seperti biasanya, akan membagikan buku, dan buku itu adalah…ya jelas dong, Si cacing lagi…masak harus buku lain? Jaka Sambung bawa golok, gak nyambung boo,,
ads
Untuk mewujudkan keinginan itu, beberapa kali saya nekad mengusulkan kepada Kick Andy agar membikin episode yang membahas tentang manfaat meditasi bagi kehidupan modern dan mengundang para pakar meditasi dari semua agama dan untuk Buddhis wakilnya adalah Ajahn Brahm. Saya juga mengusulkan agar buku “Si Cacing…” bisa dibagikan di acara itu. Sayang, beberapa kali mengirim usulan via website Kick Andy, tak ada tanggapan yang muncul. Hingga akhirnya, pada sekitar 3 tahun lalu, di sebuah edisi khusus Kick Andy yang menampilkan Jaya Suprana sebagai pembaca acara pendamping Andy F Noya, tak disangka-sangkanya, di akhir acara, oh, buku si Cacing dibagi-bagikan kepada penonton di studio! Keren abis!
ads
Akhirnya, meskipun Ajahn Brahm tak sampai hadir dalam acara itu, setidaknya cacing tengil itu telah mewakili beliau untuk nampang dan menyapa pemirsa Indonesia: Halo! Nama saya Cacing, hobi: main kotoran! Meski begitu, pada acara lain dari stasiun yang sama pada sekitar 1 tahun lalu,Face 2 Face with Dessy Anwar (MetroTV), Ajahn Brahm akhirnya nonggol juga setelah sebelumnya di salah satu edisi KOMPAS minggu termuat wawancara Maria Hartiningsih (wartawan KOMPAS) dengan Ajahn Brahm. Wow! Ajahn Brahm mulai menjadi selebritas di Indonesia setelah beredar di mancanegara.
ads
Ulasan
ads
Kini, setelah pada bagian sebelumnya saya bernostagia dan berbagi kenangan bersama Anda semua,saya akan mulai mengulas tiga buku Si Caccing. Ulasan ini bukan sebuah resensi, bukan tinjauh kritis, tapi hanya semacam pengalaman membaca dan kesan-kesan yang saya peroleh sebagai pembaca ketiga buku tersebut. Dan tentu saja, ulasan ini sama sekali bukan pesanan dari pihak penerbit, hahaha…
Buku Si Cacing pertama (d/h Membuka Pintu Hati) merupakan buku yang berisikan kisah-kisah pembuka pintu hati yang dirangkum oleh Ajahn Brahm selama 30 tahun “karir”-nya sebagai seorang biksu tradisi hutan Thai. Dalam buku inilah kita mendapati kisah tentang Ayah Ajahn Brahm yang mengajari beliau sikap penerimaan dan cinta tanpa pamrih yang terangkum dalam kalimat “Apa pun yang engkau lakukan, pintu hatiku selalu terbuka untukmu.” Dan kalimat ini untuk seterusnya menjadi semacam mantra bagi kehidupan Ajahn Brahm yang kemudian, tak pelak lagi, banyak mewarnai setiap ceramah yang disampaikannya. Pada buku inilah semua tema utama yang sering dibawakan oleh Ajahn Brahm terangkum dalam kisah-kisah seperti “Pemaafan Positif” (tentang cara menghadapi orang sulit), “Dua Bata Jelek” (tentang berpikir positif dan fokus pada hal-hal yang baik ketimbang yang jelek), “Ayam dan Bebek” (tentang merawat perhubungan pasangan), dan “Sebuah Nasihat Bila Anda Sakit” (tentang menghadapi penyakit). Buku-buku selanjutnya dari trilogi ini masih membahas tema-tema utama itu, hanya saja dalam setiap buku tema-tema itu dibahas dengan cara dan kisah yang berbeda.
ads
Meskipun begitu, tetap saja antara buku pertama dengan selanjutnya ada perbedaaan yang cukup menonjol. Antara lain, saya ingat, ketika membaca buku pertama, saya bertanya-tanya bagaimanakah sebenarnya kehidupan pribadi Ajahn Brahm ketika beliau masih sebagai umat awam dan tinggal di London? Bagaimana tentang ibu dan kakak beliau, mengapa hanya ada sekilas saja kisah tentang Ayahnya tapi nyaris tak saya temukan cerita yang berkaitan dengan ibu (kecuali 1 dalam kisah yang berjudul “Hare Krishna”) atau saudara beliau. Apa yang menjadi keheranan saya tersebut terjawab di dalam buku kedua, karena ada cukup banyak kisah di mana Ajahn Brahm menceritakan tentang ibundanya dan kehidupan akademis di kampus Cambridge tempat beliau belajar fisika teori. Lalu satu hal lagi yang menjadi semakin jelas terlihat di buku kedua dan ketiga adalah pada minat utama Ajahn Brahm: meditasi. Di buku pertama “bau-bau” meditasi memang sudah tercium dari beberapa kisah, tapi tidak begitu menyolok. Di buku kedua beberapa kisah terang-terangan adalah cerita tentang meditasi atau metode bermeditasi, nasihat atau berbagi pengalaman meditasi. Dan di buku ketiga minat ini semakin terlihat jelas, semakin banyak kisah yang bertema meditasi. Hal ini menyebabkan pada buku kedua dan ketiga nuansa Buddhis terasa lebih kental karena meditasi yang beliau ajarkan adalah berdasarkan ajaran Buddha. Meskipun begitu, siapa pun yang bukan Buddhis tetap bisa menikmati buku-buku ini karena, seperti biasanya, Ajahn Brahm selalu ingin mengajak siapa pun untuk menjadi lebih bahagia. Dan siapa sih di dunia ini yang tidak ingin menjadi bahagia? Pesan-pesan itu mudah masuk ke dalam perenungan kita karena cara beliau menyampaikannya menyenangkan dan mengasyikkan, yang tak jarang juga lucu sehingga membuat kita tertawa lepas. Itu memang disengaja karena ketika kita tertawa, mulut kita akan terbuka lebar, dan Ajahn Brahm akan dengan mudahnya melempar masuk pil-pil kebijaksanaan ke dalamnya.
ads
Lainnya
ads
Trilogi Si Cacing dapat saya katakan dengan yakin adalah buku yang akan selalu saya rekomendasikan bila kapan pun saya bertemu dengan orang-orang galau atau mereka yang merasa “hidup segan mati tak mau”.
ads
Saya mengibaratkan kita-kita yang masih sering galau ini sebagai penderita cacingan, dan buku Trilogi Si Cacing adalah obatnya. Itulah sebabnya ketika seorang teman bertanya mengapa banyak orang yang suka membaca buku Si Cacing, saya jawab: mungkin karena banyak orang menderita cacingan. Salah seorang teman bahkan sampai memperlakukan buku Si Cacing sebagai semacam “kitab suci”: ketika galau menerpa, dia akan membaca kembali buku itu. Dari salah seorang teman saya baca kisah yang nyaris serupa, tentang temannya yang menyimpan buku Si Cacing di dalam mobilnya. Selain untuk mengobati galaunya, barangkali dia berpikir buku Si Cacing bisa juga dipakai sebagai buku panduan manakala mobilnya mogok di tengah jalan, hahahahaha….
ads
Oh ya, satu lagi. Dari buku “Horeee! Guru Si Cacing Datang” yang berisi kisah-kisah perjalanan tur Ajahn Brahm di Indonesia, ada kisah tentang bagaimana seorang wanita pengidap kanker ganas, telah divonis mati oleh dokter, lalu membaca buku si Cacing, dan…sembuh! Eits! Mohon tidak menjadikan buku ini sebagai resep manjur untuk menyembuhkan kanker ya, hahaha…
ads
Akhir kata, semoga apa yang saya bagikan ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
ads
Chuang 280311
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H