Kadang-kadang terpikirkan satu hal ini yang sebenarnya cukup membingungkan namun tak pula benar-benar mengherankan: kita menciptakan segala macam barang-barang berteknologi tinggi dengan tujuan untuk membantu kerja kita sehari-hari. Benda-benda seperti komputer berikut sistemnya, mobil, perkakas teknik dan komunikasi dan sebagainya membuat kita mampu menyelesaikan tugas apa pun dengan sangat cepat, efisien dan praktis. Moda transportasi yang luar biasa seperti kereta peluru, pesawat terbang dan perkakas komunikasi canggih membuat jarak dan tempat menjadi semakin tak berarti.
Itu semua seharusnya berujung pada semakin banyaknya waktu luang yang kita miliki, karena satu macam pekerjaan yang 10 tahun lalu memerlukan waktu seminggu pada hari ini bisa diselesaikan dalam hitungan jam, misalnya. Tapi kenyataaan yang terjadi adalah lazim kita temukan orang yang mengeluh kekurangan waktu, yang berandai-andai waktu sehari itu 36 atau 48 jam, bukan 24 seperti sekarang.
Apa sebenarnya yang terjadi? Mengapa orang-orang modern mengeluh kekurangan waktu, yang dalam tingkatan ekstrim beberapa bahkan tak lagi memiliki waktu untuk dirinya sendiri?
Saya tidak tahu persis jawabannya, tapi saya kira-kira bisa menggambarkan keadaan ini seperti orang kehausan yang terus meneguk air laut bukannya air tawar: rasa hausnya malah semakin menjadi-jadi. Atau barangkali bisa juga seperti seorang pecandu narkoba yang semakin lama dosis obatnya harus terus ditingkatkan demi mencapai efek “bahagia” yang dicarinya.
Itulah yang terjadi manakala teknologi bertemu dengan sistem ekonomi yang beroritentasi pada pertumbuhan, bukan pada keberlanjutan. Maka kita lihat, semakin canggih perkakas teknologi, semakin efisien kerja, berarti semakin banyak waktu yang dihemat. Namun disisi lain, efisiensi dan efektivitas itu menghasilkan suatu pertumbuhan yang tinggi, dan sebagai balasannya pertumbuhan yang semakin tinggi itu memberikan beban kerja yang semakin besar demi mempertahankan kelangsungannya dari persaingan yang semakin sengit, yang pada gilirannya beban kerja yang semakin besar ini memerlukan perkakas lebih canggih untuk menanganinya. Lalu dari sana, roda aksi-reaksi terus berputar: yang satu mendorong terjadinya yang lain, dan yang lain itu pada gilirannya mendorong kembali yang pertama.
Kadang-kadang terbayangkan, seandainya saja di luar sana ada bentuk peradaban lebih tinggi yang menyaksikan tingkah-polah kita di Bumi, saya bayangkan mereka pasti tersenyum geli sekaligus prihatin melihat kita. Tersenyum geli menyadari kita menciptakan teknologi yang menyelesaikan satu masalah tetapi menimbulkan masalah lain, bukan menyelesaikan masalah tanpa masalah. Dan prihatin betapa kita orang-orang modern banyak mengalami keterasingan dengan lingkungan kita sendiri. Sebab, bagaimana tidak terasing bila kita sendiri asing pada diri kita akibat kita jarang memiliki waktu untuk menyapanya?
261113
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H