Dengan nominal serangan fajar sebesar itu bisa dibayangkan berapa besar dana yang mereka butuhkan untuk memenangkan kontestasi, apalagi dalam kenyataannya bahwa meski mereka hanya butuh suara separuh dari BPP untuk lolos, tetapi mereka harus menyiapkan "amplop" 3-5 kali lipat, karena tingkat keberhasilan serangan fajar itu hanya sekitar 20-40%, saking ketatnya persaingan perebutan suara yang terjadi, ada yang satu pemilih bisa mendapatkan 2-3 atau bahkan lebih amplop serangan fajar.
Satu persoalan yang juga menjadikan praktek money politic terus terjadi adalah keinginan para caleg untuk "mengalahkan" calon incumbent, sebab diketahui bahwa investasi sosial dan investasi politik incumbent sudah tertanam di masyarakat, apalagi incumbent yang telah 2 atau lebih periode menjabat.
Fenomena seperti ini tentu tidak hanya terjadi di kota saya tetapi di daerah-daerah lainnya juga mungkin saja terjadi walau dengan jumlah nominal serangan yang berbeda bergantung pada besaran jumlah suara yang dibutuhkan.
Pertanyaannya sekarang, apa dampak dari politik transaksional yang terjadi tersebut? Bagi caleg yang gagal atau kalah mungkin hanya bisa menyesali kegagalannya atau mungkin ada yang stress dan memerlukan pertolongan.
Yang menjadi hal serius tentu pada caleg yang terpilih, meski diketahui bahwa gaji dan tunjangan serta fasilitas bagi anggota dewan cukup memadai, tetapi akumulasi biaya tinggi yang mereka keluarkan pada saat pencalonan tentu sangat tidak berbanding dengan penghasilan yang bisa mereka dapatkan.
Nah, kalau kita berbicara untung rugi, tentu pengeluaran yang telah dikeluarkan harus dikembalikan. Nah, pengembalian modal inilah yang membuat kebijakan-kebijakan yang diambil mencederai kepentingan rakyat. Salah satu contoh yang bisa kita soroti adalah program yang dulu disebut dana aspirasi  sekarang disebut dengan program pokok pikiran (Pokir) anggota dewan.
Program pokir ini adalah proyek pembangunan yang berasal dari anggota dewan, jika biasanya perencanaan pembangunan itu berasal dari penjaringan aspirasi masyarakat melalui musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) dari tingkat bawah (desa/ kelurahan) secara berjenjang hingga ke tingkat pusat, tetapi program pokir ini berasal dari usulan anggota dewan berdasarkan hasil reses mereka di konstituennya, tetapi lucunya terkadang proyeknya di tempatkan di luar daerah pemilihannya.
Meski mungkin, program pokir ini dimungkinkan berdasarkan aturan, akan tetapi sama seperti program dana aspirasi dulu yang pernah membuat anggota dewan di beberapa daerah terkena masalah hukum. Sebenarnya, program pokir ini juga sudah masuk pantauan KPK, melalui direktorat Koordinasi supervisi dan pencegahan (Korsupgah) mulai tahun anggaran 2023 ini beberapa program pokir yang masuk dalam program pokok pikiran elektronik (e-pokir) dipantau oleh KPK.
Dalam pernyataannya yang disampaikan pada saat pertemuan awal monitoring/evaluasi pelaksanaan program pokir beberapa hari yang lalu, pihak KPK mengatakan modus pelaksanaan proyek pokir ini. Pertama dikerjakan sendiri/atau keluarga si anggota dewan, kemudian diberikan kepada tim suksesnya atau "dijual" dengan fee 15-20%, artinya disini praktek umum yang terjadi pada program pokir ini sudah diketahui oleh KPK.
Meski menurut hemat saya, bahwa pihak KPK belum melangkah pada tahap penindakan, saat ini mungkin baru berfokus pada supervisi dan pencegahan. Yang menjadi fokus KPK dalam pelaksanaan kegiatan pokir ini adalah menghindari bahwa pekerjaan tersebut dikerjakan sendiri atau oleh keluarga, tim sukses atau dijual dan menerima komitmen fee.
Sebagaimana yang umum terjadi bahwa program pokir itu sebagian besar adalah paket pekerjaan yang direncanakan dengan nilai dibawah Rp200.juta, yang mana dengan nilai proyek sebesar itu pengadaannya hanya dilakukan dengan metode penunjukan langsung (PL). Hal ini memang sengaja dipilih atau dilakukan untuk menghindari proses tender atau lelang dalam pengadaannya (paket pekerjaan dengan nilai di atas Rp200 juta)