rupanya kau tergoda panggilan kota
kau tinggalkan alunan sunyi desamu
akhirnya kau lupakan wangi tanah
tempat berasal benih yang tumbuh di dirimu
tempat sepi yang membangun cita-citamu
kau menyerah dari peluh yang harus tertumpah
oleh liatnya lumpur sawah
oleh alotnya tanah kebun
oleh panasnya terik matahari
oleh manisnya cerita cita-cita anak kota
sobat, pejamkan matamu, lalu ingatlah
ayunan tak berhenti cangkulmulah
yang menghidupkan kota
senyuman tanah subur desamulah
yang dirindukan kota
sobat, tak sadarkah kau
kursi empuk,
pakaian necis,
dan gaji mahal
yang ditawarkan kota
sesungguhnya adalah penjara
bagi kebebasan jiwamu
yang terlahir bersama angin
dan dendang sunyi alam desamu
sobat, jangan kau gadai kesederhanaanmu
legam kulitmu,
kekar tubuhmu,
panjang nafasmu
hadirkan teduh di wajahmu
dan itu membuatku cemburu....
sobat, lupakanlah kota dengan harapan semunya
kembalilah bergumul dengan cangkulmu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H