Indonesia sebagai sebuah negara yang majemuk memiliki begitu banyak kekayaan luar biasa, salah satunya adalah "bahasa daerah".Â
Namun, sayangnya bahasa daerah sebagai kekayaan luar biasa yang kita miliki, sebagian perlahan terancam lenyap dan punah dari negeri ini.
Bahasa daerah adalah kekayaan tak benda dari sebuah bangsa sebagai bukti adanya peradaban, seni dan budaya bahkan eksistensi bangsa itu sendiri yang diwariskan baik secara lisan maupun tulisan.
Bahasa bagi sebuah bangsa, apalagi bangsa yang majemuk yang memiliki keanekaragaman bahasa dan budaya seperti Indonesia, kedudukan bahasa daerah itu sangatlah penting dan memegang empat kekuatan yaitu kekeluargaan, toleransi, pelestarian, dan keragaman.
Dengan demikian menjaga eksistensi bahasa daerah akan memperkokoh mutu kebhinekaan dan hal tersebut merupakan sesuatu yang mutlak untuk dilaksanakan sebagai wujud pengakuan dan penghormatan terhadap keragaman linguistik dan budaya yang kita miliki.
Melihat pentingnya keberadaan bahasa ibu atau yang kita terjemahkan sebagai bahasa daerah, badan PBB United Nations Education, Social and Culture Organization (Unesco) sejak tahun 1999 menetapkan tanggal 21 Februari sebagai Hari Bahasa Daerah Internasional.
Menurut data dari Unesco pada tahun 2014, Â menyebutkan bahwa dari 6000 bahasa di dunia, ada sebanyak 3000 bahasa yang hampir punah, dimana sebagian besarnya milik etnis minoritas.
Di Indonesia sendiri dari 718 bahasa daerah ada 652 yang telah diidentifikasi dan divalidasi, dan ada sebanyak 11 bahasa daerah yang telah dinyatakan punah. Selain itu, ada empat bahasa daerah yang dinyatakan kritis dan dua bahasa daerah mengalami kemunduran.
Bahasa daerah yang telah punah di Indonesia tersebut berasal dari Maluku yaitu bahasa daerah Kajeli (Kayeli), Piru, Moksela, Palumata, Ternateno, Hukumina, Hoti, Serua dan Nila serta bahasa Papua yaitu Tandia dan Mawes.
Sementara itu bahasa daerah yang kritis adalah bahasa daerah Reta dari NTT, Saponi dari Papua, dan bahasa daerah Ibo dan Meher dari Maluku.Â