Belakangan ini beredar sebuah Isu hangat terkait utang Rp 50 M, mantan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan kepada Sandiaga Uno. Â
Isu ini ramai diperbincangkan, tentu saja ada yang kontra dengan berbagai macam tanggapan dan opininya, ada juga yang pro Anies dengan berbagai macam argumen dan opininya.
Isu ini juga sudah ditanggapi langsung oleh kedua belah pihak yang terlibat dalam isu utang piutang ini. Dalam hal ini Anies Baswedan telah cukup gamblang memberi klarifikasi, demikian juga pihak Sandiaga Uno telah mengikhlaskan dan menganggap urusan utang piutang ini telah selesai.
Namun, karena isu ini menyangkut nama Anies Baswedan tentu saja akan menjadi komoditas politik yang seksi, isu menjadi berkembang liar sehingga dianggap sebagai sebuah upaya untuk menjatuhkan dan menjegal Anies Baswedan.
Terlepas dari semua pro dan kontra terkait utang piutang Anies dan Sandiaga. Dalam konteks ini saya justru melihat betapa konyolnya permainan politik negeri ini.
Kalau mau jujur, subtansi yang seharusnya menjadi perdebatan terkait persoalan utang Anies ini adalah politik biaya tinggi yang mewarnai proses kontestasi pemilihan kepala daerah, baik di tingkat kabupaten/kota, propinsi dan bahkan juga negara.
Apa yang terungkap ke permukaan dari persoalan utang piutang Anies yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan logistik dalam kontestasi Pilgub DKI Jakarta adalah betapa mahalnya ongkos politik itu.
Sangat jelas yang bisa jadi Bupati, Walikota, Gubernur dan Presiden bukan hanya orang kaya tapi orang yang harus sangat kaya. Atau setidaknya punya orang yang sangat kaya untuk memberi utangan dana politik.
Jika misalnya calon atau kontestan yang ikut pemilihan hanya punya kemampuan finansial, tetapi tidak memiliki integritas yang baik ini tentu akan mengarah pada lahirnya oligarki dan menjadi gerbang masuknya korupsi, kolusi dan nepotisme.
Mengutip dari kompas, KPK pernah melakukan survei, bahwa kepala daerah tingkat dua itu paling tidak harus menyediakan dana Rp 20-30 miliar. Gubernur di atas Rp 100 miliar. Pengakuan Sandiaga Uno ia menghabiskan Rp 300 milliar saat Pilgub DKI.