Gebyar dan juga histeria Piala Dunia Qatar 2022 telah usai. Pagelaran kompetisi sepakbola terbesar sejagat yang menghipnotis publik dunia, memberikan banyak kejutan, banyak rekor dan juga hal-hal yang baru tertoreh di Qatar.
Gelaran FIFA World Cup pertama yang digelar di Jazirah Arab ini telah memberikan sejarah dan menjadi saksi sejarah bagi pengukuhan seorang legenda baru di jagat sepakbola dunia. Lionel Andres Messi telah mengangkat trofi pertama dalam lima kali keikutsertaannya di Piala Dunia, momen yang secara resmi mentahbiskannya sebagai legenda sepakbola dunia sejajar dengan pendahulunya sesama Latino, Pele dan Maradona.
Piala Dunia Qatar juga mencatatkan sejarah dengan tampilnya Maroko yang menjadi negara Afrika pertama yang tembus semifinal. Perjalanan spektakuler Maroko dimulai dengan memimpin Grup F, mengangkangi Belgia tim unggulan yang berperingkat FIFA 2. Lalu mendepak Spanyol dan Portugal dimana keduanya adalah negara-negara raksasa sepakbola Eropa sebelum akhirnya dihentikan secara terhormat oleh Prancis dalam perjalanannya menuju ke final.
Dongeng Maroko menjadi fenomenal sekali. Berkelindan dengan "nuansa" islami yang ditampilkan oleh tuan rumah, publik disuguhkan pemandangan yang sungguh humanis sekali saat menyaksikan pemain Maroko naik ke tribun penonton memeluk ibundanya. Mereka dengan humble berselebrasi dengan bersujud syukur menyikapi kemenangannya.
Tak hanya itu, kejutan pertama di awal gelaran adalah tumbangnya salah satu tim favorit (yang pada akhirnya keluar sebagai juara dunia), Argentina dibuat bertekuk lutut oleh Arab Saudi dengan kemenangan 2-1. Selain gagalnya Belgia lolos dari putaran fase Grup, kejutan lainnya adalah kembali gagalnya Tim Panser Jerman lolos dari fase Grup. Kali ini pula Jerman disingkirkan oleh tim Asia yaitu Jepang, setelah sebelumnya di 2018 tersingkir oleh Korea Selatan.
Hingga memasuki perempatfinal, harapan munculnya juara dunia baru masih terbuka lebar dimana terdapat empat negara yang berjuang untuk trofi juara dunia pertama mereka yakni Belanda, Portugal, Kroasia dan Maroko. Belanda gagal melewati Argentina, Portugal tersingkir oleh Maroko, dan Kroasia sukses membekap raksasa Amerika Latin dan juga dunia Brazil.
Namun, sayangnya hasil semifinal berkata lain, publik dunia kembali harus menunggu lama untuk menyaksikan munculnya juara dunia baru. Kroasia dan Maroko harus puas untuk memperebutkan trofi juara ketiga dan menyaksikan real final Argentina vs Prancis.
Mungkin oleh banyak penggemar bola dunia, final ideal adalah antara Argentina vs Portugal sebagai ajang pembuktian siapa yang berhak menyandang predikat Greatest of All Time (GOAT) yang selalu diperdebatkan untuk Lionel Messi atau Cristiano Ronaldo.
Di luar perdebatan maupun perseteruan oleh publik antara Messi atau Ronaldo, yang sudah usai dengan kandasnya Portugal oleh Maroko. Partai final Argentina kontra Prancis adalah final paling ideal yang mempertemukan kekuatan sepakbola Amerika Latin kontra kekuatan sepakbola Eropa yang diwakili oleh Prancis yang sekaligus sebagai juara bertahan. Di kubu Prancis pun ada sosok yang cukup fenomenal yaitu Kylian Mbappe yang di masa datang akan bersinar dan akan menyaingi kebesaran Ronaldo maupun Messi.
Prancis tampil ke partai final sebagai tim yang paling produktif, hingga semifinal Prancis telah mengemas 13 buah gol dengan 5 kemasukan. Prancis selalu mencetak gol di setiap laga, kecuali saat kalah dari Tunisia di partai terakhir fase Grup yang tidak lagi menentukan. Demikian pula dengan Argentina, tampil ke final dengan produktivitas gol yang cukup besar yakni 12 gol dan juga 5 kemasukan. Dari catatan ini sudah dapat dibayangkan bahwa partai final akan menyuguhkan permainan sepakbola menyerang dan berlangsung secara terbuka, adu kreativitas dengan semangat dan tempo permainan yang tinggi.
Dan semuanya terjawab dengan enam buah gol yang tercipta dalam pertarungan sengit, seru, dan mendebarkan dalam 120 menit dan berakhir melalui drama adu penalti. Dominasi Argentina di babak pertama hingga pertengahan babak kedua dengan keunggulan 2-0, dibuyarkan oleh comeback spektakuler Prancis di 20 menit tersisa waktu normal. Mbappe membuat pendukung Argentina terdiam, bahkan Angel Di Maria yang sempat menjadi bintang di lapangan sebelum ditarik keluar oleh Lionel Scaloni terlihat menangis dengan sedih. Drama yang menguji mentalitas pemain Argentina kembali terulang sama seperti saat di perempat final ketika bertemu Belanda.
Sepakbola saling serang, kreatif dan aksi-aksi brilian perpaduan antara kekuatan fisik, skill dan juga otak tersaji hingga detik-detik terakhir, gol berbalas gol, serangan berbalas serangan yang membuat penonton bersorak dan terdiam. Hingga nasib harus ditentukan melalui adu penalti.
Adu penalti bukanlah perkara untung-untungan, adu penalti adalah perkara kesiapan mental dan juga motivasi dari penendang dan juga penjaga gawang. Penalti itu 99% Gol, berhadapan 1 lawan 1, punya persiapan sebelum menendang, yang membatasi antara penendang dan penjaga gawang adalah mental dan motivasi. Dan itu dimiliki oleh skuad La Albiceleste.
Sebuah final yang betul-betul menghibur, menegangkan dan tak akan terlupakan. Hujan gol dan harus berakhir dengan adu penalti. Sangat jauh berbeda dengan final Argentina vs Jerman di tahun 1990 dan juga di 2014 yang berkesudahan 1-0, untuk Jerman lewat gol tunggal Andreas Brehme di Piala Dunia Italia 1990, padahal disitu ada Maradona. Begitu juga di Piala Dunia Brazil 2014, Jerman hanya menang 1-0 melalui gol Mario Goetze di menit 113 extratime, padahal saat itu Messi berada dalam usia puncaknya. Final Piala Dunia yang berlangsung hingga perpanjangan waktu selalu minim dengan gol, final 2010, Spanyol menang 1-0 atas Belanda lewat gol Andres Iniesta di menit 116, begitu juga di final 2006, Italia mengalahkan Prancis dalam adu penalti setelah bermain imbang 1-1 di waktu normal dan perpanjangan..
Laga final Argentina kontra Prancis adalah pertandingan dengan skor yang terbesar yang berakhir dengan adu penalti sepanjang sejarah piala dunia. Sebuah suguhan sepakbola menyerang yang aktraktif penuh drama, ada semangat, ada motivasi bahkan epos perjuangan.
Pentas telah usai, Argentina resmi mendapatkan bintang ketiganya setelah penantian 36 tahun dan melalui tiga final. Sang mega bintang Lionel Messi telah mencatat sejarahnya sebagai satu-satunya pemain yang meraih dua kali bola emas (pemain terbaik). Messi juga telah mencatatkan penampilan ke-26nya di pentas Piala Dunia sehingga mematahkan rekor jumlah penampilan terbanyak yang dipegang oleh pemain timnas Jerman, Lothar Matthaeus (25).
Satu catatan yang memiriskan usai pentas sukses FIFA World Cup Qatar adalah perundungan berbau rasisme yang ditujukan kepada Kingsley Coman, Aurelien Tchouameni dan Kolo Muani, yang dianggap oleh beberapa pendukung Prancis sebagai biang kegagalan Prancis mengalahkan Argentina. Seperti yang kita ketahui, penalti Coman diblok oleh Martinez, sementara Tchouameni penaltinya melebar, dan Kolo Muani dikecam karena peluang emasnya untuk menceploskan bola di injury time digagalkan oleh aksi brilian Emi Martinez.
Sepakbola adalah permainan sportifitas, tidak ada tempat bagi perilaku rasisme, final FIFA World Cup 2022 telah usai, Argentina boleh berpesta dengan kemenangannya, tetapi kemenangan sesungguhnya adalah sepakbola itu sendiri sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh tuan rumah Qatar bahwa sepakbola itu milik semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H