Namun, apapun asas, maksud dan tujuan kegiatan-kegiatan kemahasiswaan tersebut, yang dapat kita lihat kasus demi kasus terkait kelalaian yang terjadi dalam pelaksanaan kegiatan kampus ini terus saja menimbulkan korban baik jiwa maupun cedera (fisik dan mental).
Kegiatan yang telah memberi gambaran nyata bagi seluruh stake holder pendidikan kita akan jatuhnya korban, evaluasi tentu telah dilakukan, tetapi kenyataannya insiden negatif masih terus terjadi dan berlanjut, pertanyaannya ada apa dengan ini ?
Cukuplah bagi kita untuk berkesimpulan bahwa kegiatan-kegiatan ospek dan semacamnya adalah kegiatan yang berisiko, dan dalam hal ini tidaklah pantas tanggung jawab pelaksanaan kegiatannya diberikan pada mahasiswa (senior), yang kompetensinya entah didapat dari mana?
Di era 4.0 atau entah era apalah yang ingin kita namakan, bentuk-bentuk perploncoan sudah menjadi cerita basi yang primitif, termasuk bentuk-bentuk 'militerisasi' dalam kehidupan sipil sudah kita tinggalkan, dimana justru mahasiswa sendiri yang menjadi ujung tombak reformasi yang salah satunya menjadikan militer itu berada di barak tak lagi berdwi fungsi dalam kehidupan sipil. Namun, justru dalam kegiatan kampus, kok gaya-gaya militer masih diterapkan, padahal model militer itu harus dilakukan secara dan oleh yang profesional.
Di era digital, sudah bukan jamannya ospek fisik, kemampuan, kecakapan dan keterampilan yang ingin dicapai melalui ospek yang cuma dua minggu itu tentulah sangat jauh dari ideal, malah seperti yang kita lihat justru menghadirkan banyak luka dan duka bagi mahasiswa.