Segelas kopi hitam yang masih mengepul terlihat seperti pedupaan yang membuat sesak, dan ruang yang remang-remang membuat rindu pada cahaya yang membias jadi pelangi.
Aku yang ingin berbicara tentang taman kota dan pengamen jalanan, tentang sepiring nasi goreng dan petugas trantib yang selalu mewarnai hari-hari kita yang menjadi saksi kerasnya kehidupan.
Aku juga ingin bercerita tentang pekerjaan yang pasti dengan rutinitasnya yang tak kunjung kudapatkan, kecuali serabutan sana-sini yang kadang kencang tapi lebih sering kendur.
Aku terhenyak dalam dinginnya hujan awal Februari, ada yang menggelayut di kakiku seperti kucing lapar yang enggan melepas bangkai tikus di mulutnya.
Sudah cukup jauh petualangan ini membawaku bertemu banyak kawan bercengkrama sambil minum kopi dan makan pisang goreng, tapi segera menghilang ketika aku mulai menyinggung tentang duit yang boleh aku utang.
Hujan di awal Februari ini membuatku ingin lari kemanapun asal tidak di sini di mana aku bisa gila, kecoak terakhir yang menjadi temanku pun telah terguling kaku, tidak ada lagi yang menerima sedekahku meski itu hanya sisa-sisa makananku.
Hujan semakin bergemuruh di luar sana seakan-akan menertawai diriku yang menggantung mimpi-mimpiku di langit-langit kamar yang kini telah basah dan sebentar lagi jebol dan hancur bersama aku yang menangis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H