Setiap akhir September hingga awal Oktober, selalu saja kita disuguhkan dengan isu lawas yang selalu baru dan diperbaharui, apalagi kalau bukan isu kebangkitan kembali PKI dengan paham komunisnya, yang memang hingga saat ini kewaspadaan terhadap komunisme sebagai bahaya laten di republik ini masih belum dihapuskan.
Dan ini selalu menjadi pro-kontra yang sengit, disatu pihak ada yang percaya bahkan sangat percaya bahwa kebangkitan PKI/Komunis sudah sangat nyata menggejala dalam kehidupan baik secara sosial maupun politik.Â
Namun dipihak lain, menganggap ini isu murahan, isapan jempol dan hanya komoditas atau jualan politik orang-orang tertentu, benarkah.?
Hal pertama yang harus direnungkan ialah bagaimana pandangan dasar kita tentang bernegara, terutama pandangan bernegara pasca digagalkannya pemberontakan PKI, lewat gerakan 30 September atau yang kita kenal sebagai G30S PKI.
Bahwa sebelum G30S PKI atau masa orde lama, pandangan bernegara kita masih dipengaruhi polarisasi pandangan politik, yakni kutub nasionalis, agamis (Islam) dan komunis. Ini yang coba dijembatani oleh mendiang founding father bangsa ini, presiden Soekarno dengan Nasakomnya.
Namun sebagaimana yang kita ketahui dan lihat sendiri bahwa adalah hal yang mustahil menyatukan ketiga kutub ini, jika kita mengibaratkan dengan minuman kopi (agamis), susu (nasionalis) dan soda (komunis), jika diminum sendiri-sendiri maka tidak ada masalah kenikmatannya bisa dinikmati, jika kopi dicampur dengan susu kenikmatannya mungkin bertambah, tapi jika ditambahkan soda maka minuman yang seharusnya nikmat akan menjelma menjadi racun yang membahayakan.Â
Ilustrasi kopi, susu dan soda di atas memang demikianlah adanya, tak mungkin menyatukan ketiga kutub tersebut, Nasakom akan menjadi racun, karena secara alamiah begitulah adanya.
Pasca G30S PKI atau kita sebut saja orde baru, Â konsensus yang "wajib" kita terima bersama bahwa pandangan bernegara kita adalah satu yakni Pancasila dan ini bersifat final, meski oleh beberapa gelintir kalangan dianggap sebagai penekanan bahkan cenderung sebagai pemaksaan ideologi, apalagi dengan diundangkannya kebijakan azas tunggal.
Kembali kepada persoalan pro-kontra di atas, marilah kita berani jujur (baik yang pro maupun yang kontra), bagaimana kondisi dan kenyataan "sosial" dan juga "politik" yang terjadi di masyarakat.Â
Apakah Pancasila masih eksis,? masih relevankah,? atau sudah bergeser ke bentuk demokrasi liberal atau bahkan mungkin ke ideologi lain dengan berselimut kata "demokrasi" namun tak demokratis.