Setiap daerah pastilah mempunyai tradisi yang tetap terpelihara secara turun temurun. Meski kadang tradisi tersebut bernuansa klenik ataupun berbau mistis yang mungkin sangat bertentangan dengan alam pemikiran ilmiah di jaman milenial ini dan juga bertentangan dengan konsep ajaran agama-agama yang datang belakangan.
Salah satu tradisi ritual adat masyarakat suku Tolaki yang mendiami Jazirah Tenggara pulau Sulawesi yang masih ada yang "melakoninya" adalah Prosesi ritual adat Mo'oli. Secara terminologi dalam bahasa Tolaki "Mo'oli" sendiri ini berarti "membeli". Namun dalam pengertian secara budaya dapat diartikan sebagai "upaya kompromistis dengan mahluk-mahluk astral penguasa wilayah gaib."
Tradisi Mo'oli sebenarnya adalah prosesi spritual kuno yang dimaksudkan sebagai jembatan atau penghubung dengan para jin atau o wali (dalam bahasa daerah Tolaki). O wali atau jin yang dipercaya menghuni tempat-tempat tertentu yang dianggap keramat oleh masyarakat seperti hutan dengan pohon-pohon besar, gunung atau bukit serta sungai dan laut, yang tentu saja atas seizin "dewa" dalam kepercayaan orang Tolaki di masa lalu.Â
Orang Tolaki kuno sebelum masuknya agama Islam menyandarkan kepercayaan mereka kepada para Dewa yang mereka sebut Sangia. Sangia itu ada 4 yaitu Sangia Mbuu (Maha Dewa), Sangia Ipuri Tahi (Dewa Laut/air), Sangia Ipuri Wuta (Dewa Daratan), Sangia Mbongae (Dewa Petaka/pembawa penyakit).
Oleh karena itu dalam prosesi Mo'oli, setiap mantra pembuka nya selalu menyebutkan angka o'aso (satu), ruo (dua), tolu (tiga), omba (empat), dimana secara semiotika simbolik, angka-angka ini mewakili empat Sangia atau dewa.
Kapan dan untuk apa sih ritual Mo'oli itu dilaksanakan.? Ritual mo'oli masyarakat Tolaki biasanya dilaksanakan pada saat ada pembangunan gedung perkantoran, rumah tinggal, jembatan, pembuatan jalan raya dan sebagainya di tempat-tempat yang baru dibuka atau yang dianggap angker atau keramat yang dikuasai oleh mahluk-mahluk halus sebangsa jin atau o wali.Â
Tujuannya adalah mengkomunikasikan kepada mahluk astral atau o'wali penguasa wilayah bahwa mereka memohon izin untuk membangun di tempat ini, sekaligus meminta agar para jin yang ada disitu agar pindah ke tempat lain atas seizin para Sangia, dengan kompensasi sesembahan yang disiapkan oleh dukun pemimpin pelaksana ritual (Mbuakoi) dan dua orang asistennya (Posudono Mbuakoi yang dianggap mampu melihat dan berkomunikasi dengan jin). Harapan mereka adalah apa yang dibangun maupun dikerjakan akan berjalan dengan lancar dan tidak terganggu oleh mahluk astral atau para jin.
Prosesi ritual Mo'oli juga dilakukan oleh masyarakat Tolaki, ketika ada orang hilang yang dipercaya oleh masyarakat disembunyikan atau diambil oleh penunggu suatu tempat yang dianggap keramat. Entah itu di hutan, sungai, di laut atau di gunung-gunung yang diangap keramat. Setelah Mo'oli dilakukan, penduduk akan memukul gong sambil mencari orang hilang yang dianggap telah disembunyikan oleh jin. Baik dalam keadaan masih hidup ataupun sudah mati, agar jin yang menyembunyikan segera menampakkannya.
Pernak-pernik yang disiapkan sebagai kompensasi sesajen upacara Mo'oli adalah pakaian pria satu pasang, kopiah (topi), sarung, daun sirih, buah pinang yang dibelah empat, tembakau yang digulung menggunakan daun palem hutan yang dalam bahasa tolaki disebut wiu. Juga koin dan emas-emas untuk menarik perhatian para jin agar datang ke tempat upacara ritual Mo'oli.Â
Namun satu yang perlu diketahui bahwa pelaksanaan ritual Mo' oli jaman sekarang sedikit telah menjalani pergeseran yang ditandai dengan masuknya akulturasi agama yang dalam hal ini Islam, bahwa segala sesuatu yang dilaksanakan adalah atas kehendak dan seizin Allah. Meski segala prosesnya tetap seperti ritual yang lama.
Menurut cerita kesaksian seorang kawan yang mengikuti dan menyaksikan langsung prosesi ritual Mo'oli di tahun 2003 saat akan dibangun kompleks perkantoran sebuah Kabupaten yang baru mekar di Sulawesi Tenggara. Prosesi yang dirasa sangat sakral ini berjalan mendebarkan karena ditengah berlangsungnya prosesi, tiba-tiba turun hujan lebat dan angin kencang yang membuat para pejabat, tokoh masyarakat yang hadir berhamburan mencari tempat untuk berteduh. Tenda-tenda yang terpasang berkibar-kibar karena talinya terlepas.Â