Mohon tunggu...
Chaerul Sabara
Chaerul Sabara Mohon Tunggu... Insinyur - Pegawai Negeri Sipil

Suka nulis suka-suka____

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Balada Nelayan yang Kehilangan Laut

21 September 2021   21:17 Diperbarui: 21 September 2021   21:25 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image: penasultra.com

Wanita muda yang sedang bunting itu berkata kepada seorang nelayan muda berwajah murung:
"Sudah berapa bulan ini kamu hanya berdiri memandang laut.
Perahumu sudah hampir karam terhempas gelombang yang berwarna coklat.
Kamu tak lagi hasilkan uang.
Dan kini kamu hanya bisa  berhutang.
Hidup ini biaya melulu.
Kita takkan kuat.
Hari ini kamu harus pergi."

(Suara wanita muda yang bunting itu
berubah tegas dan penuh kemarahan
seperti pedang menyala yang
menghunus)

Jam dua-belas tengah hari.
Matahari hilang dari tengah langit.
Mega yang menghitam, menggantung dalam gumpalan pekat laksana raksasa dengan geraham yang siap melumatnya.
Sejak kedatangan mesin-mesin escavator dua tahun lalu yang meluluh lantakkan hutan dan bukit-bukit seenak udel tanpa konservasi. Ketika hujan datang, pasti membawa banjir yang menyapu daratan hingga berakhir pada pencemaran laut.
Kini ikan-ikan telah menghilang dari pesisir, untuk mengail seekor ikan mereka harus pergi jauh ke tengah samudera menantang maut menerjang gelombang yang bergelora.

Jerih yang tadi penuh di pikirannya, sontak sirna manakala terbayang olehnya perut istrinya yang sebentar lagi mbrojol.
Takada lagi takut di wajahnya.
Teman-temannya melongo menatap si nelayan muda.
Hampir sempoyongan ia berlari, mendorong perahunya pergi membelah laut menembus badai yang menggila hingga hilang di batas cakrawala.

Sore telah berganti malam, dan malampun berganti pagi lalu kembali berganti malam dan pagi lagi.
Namun nelayan muda itu belum jua kembali, menyisakan gelisah di hati si wanita muda yang lagi bunting itu.
Tak terasa dari selangkangannya telah mengalir air ketuban pertanda waktunya si cabang bayi lahir.
Dan bersama dengan lengking tangis sesosok orok berkelamin laki-laki yang membelah keheningan pagi, histeriapun merebak di tepi pantai saat sosok si nelayan muda yang telah kehilangan nyawa ditemukan terdampar di tepian pantai.

(Malaikat pencabut nyawa masih bermurah hati, mengantarkan jasadnya menemui pantai tempat ia dilahirkan)

Sudah takada isak tangis yang menyambut kepulangan si nelayan muda itu, bahkan bayinya pun seketika diam, kepedihan itu begitu dalam hingga airmata telah menjadi batu.

Nelayan muda itu dimakamkan bersama ari-ari anaknya, tak tertera nama pada nisan di pusaranya, di nisannya mereka hanya menulis.

"Dia yang telah kehilangan nama, menjual nyawanya demi mendengar tangisan pertama anaknya, dipaksa mencari remah-remah di kejauhan, padahal ia tinggal di atas roti-roti yang dimakan oleh pendatang di pulaunya."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun