Tradisi Katoba bagi masyarakat suku Muna merupakan salah satu upacara adat yang memiliki makna kultural dan spiritual, tradisi ini merupakan sebuah ritual penyucian atau pengislaman pada seorang anak yang telah memasuki usia akil baliq.
Istilah Katoba berasal dari kata "toba". Dimana kata "toba" ini berasal dari bahasa Arab yakni taubah yang berarti menyesal atau taubat. Secara harfiah taubat disini dapat berarti menyesali segala perbuatan buruk yang pernah dilakukan dan berjanji untuk tidak mengulanginya kembali di kemudian hari.
Ritual katoba ini secara adat bagi sebagian besar masyarakat suku Muna merupakan hal "wajib" untuk dilaksanakan bagi anak yang telah memasuki usia akil baliq, baik anak laki-laki maupun perempuan. Dan seringnya upacara atau ritual katoba ini dirangkaikan dengan selesainya anak dikhitan atau disunat.
Tradisi ini telah mulai dikenal di masyarakat Muna sejak awal masuknya Islam di tanah Muna sekitar tahun 1600-an. Tradisi turun temurun yang masih dipertahankan hingga sekarang ini merupakan tradisi lokal yang mengadaptasikan ajaran Islam sebagai agama yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Muna. Hal ini dapat dijelaskan oleh teori J.P.B. de Josselin de Jong (1977) mengenai masyarakat Nusantara, yaitu bahwa masyarakat ini selalu mampu memanfaatkan budaya-budaya asing yang datang, sebagai sumber untuk meremajakan (rejuvinate) budaya mereka kembali, dan orang Muna telah berhasil “meremajakan”, menguatkan adat mereka berkat kemampuan mereka memasukkan unsur-unsur ajaran Islam dalam ritual katoba mereka.
Bagi Masyarakat Muna anak-anak yang berusia 7-12 tahun setelah melakukan khitan harus diikuti dengan ritual katoba, sebagai bentuk legitimasi adat untuk memberikan "fondasi akhlak" bagi anak dengan menanamkan nilai-nilai adat, budaya dan agama bagi anak agar dijunjung tinggi dan diterapkan dalam kehidupannya setelah dewasa nanti. Nilai-nilai yang ada dalam tuturan ritual katoba adalah nilai-nilai ketuhanan, nilai ketaatan untuk beribadah kepada Tuhan dan menghargai hubungan antar manusia dan juga dengan alam.
Rangkaian ritual katoba ini dimulai dari tahap persiapan ritual yang disebut gholeono metaa (menentukan hari baik), yang dilakukan oleh “ orang tua” yang disebut pande kutika, yaitu “orang tua” atau tokoh yang dianggap mengetahui tentang hari-hari baik dan tahu cara menetapkannya.
Setelah hari baik telah ditetapkan, maka ritual dapat dilaksanakan, ritual katoba itu sendiri terdiri dari beberapa rangkaian mulai dari isaratino toba (petunjuk tobat), wambano toba (mengucapkan tobat) dan kafoenaghuno toba (nasehat tentang perilaku yang baik dan tidak baik dalam katoba).
Pada ritual isaratino toba atau “petunjuk toba”, pimpinan ritual tidak boleh sembarangan orang, biasanya adalah imam masjid atau tokoh agama yang dikenal baik dan mengetahui syariat agama yang mampu memberitahu dan mengajarkan tata cara bertobat kepada anak yang akan menjalani ritual katoba, dalam tradisi orang Muna, menjalani ritual katoba dengan baik dan benar adalah sebuah keharusan. Tanpa itu, katoba tidak akan diterima, dan ritual tersebut tidak akan ada artinya. Imam atau tokoh agama yang memimpin ritual katoba akan memberikan petunjuk pertobatan sesuai dengan tahap-tahapnya mulai dari menyesali kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan (dososo), baik yang disadari ataupun tidak; Kemudian petunjuk menjauhi hal yang dapat menjerumuskan kepada kesalahan yang sama atau kesalahan yang baru (dofekakodoho), dan mehilangkan kecenderungan untuk melakukan kesalahan (dofomina).
Setelah ritual isaratino toba selesai, masuklah pada inti ritual yakni pengucapan toba, yaitu saat anak yang menjalani ritual harus “membacakan” surat Al Fatihah yang mana surat Al Fatihah ini merupakan ummul qur’an yang wajib diketahui dan dipahami oleh seluruh ummat muslim, kemudian anak harus mengucapkan kalimat istighfar (permohonan ampunan) sebanyak tiga kali, yang dapat dipilih apakah istighfar dengan narasi yang pendek atau yang panjang. Dan terakhir mengucapkan dua kalimat syahadat (persaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad itu adalah utusan Allah). Semua bacaan ini harus dalam bahasa Arab atau bahasa Qur’an.