Kita tentu sudah tidak asing lagi jika mendengar ada kepala dinas yang latar belakang pendidikannya tidak relevan dengan jabatan yang diembannya, seperti misalnya kepala dinas kesehatan yang berlatar belakang pendidikan sarjana hukum, insinyur teknik bahkan ada yang berasal dari seorang guru. Begitu juga misalnya seorang kepala dinas PU yang dijabat oleh seorang sarjana sosial atau sarjana ekonomi.
Dalam birokrasi pemerintahan daerah sepertinya hal ini sah-sah saja, semua bergantung pada owner yang dalam hal ini kepala daerahnya.
Jika melihat apa yang terjadi di lingkup birokrasi pemerintahan daerah saya jadi berpikir apakah ini adalah pelecehan intelektual ataukah fleksibilitas intelektual?.
Kompetensi jabatan bukan lagi ditinjau dari aspek teknis namun lebih kepada aspek manajerial, meski sebenarnya dalam setiap organisasi perangkat daerah ada analisis jabatan yang menempatkan syarat kompetensi pendidikan untuk menduduki posisi atau jabatan baik itu struktural maupun fungsional.
Dalam pelaksanaannya organisasi perangkat daerah itu tetap saja bisa berjalan baik meski dinakhodai oleh seorang yang berlatar belakang pendidikan dan juga latar belakang pengalaman kerja yang tidak berkesesuaian.
Menghadapi hal seperti ini, bagi orang-orang yang di luar lingkaran tentu mengundang rasa heran dan juga cemoohan, tapi mau protes juga bagaimana, penempatan pejabat meski aturannya jelas, tegas dan ketat tapi tetap saja ada ruang untuk mengakomodir kepentingan ataupun kebutuhan organisasi yang sesuai dengan visi dan misi kepala daerah.
Bagi orang dalam sama juga dengan orang luar hanya bisa manut dan harus mendukung, mau protes percuma saja bahkan ada resiko. Jalan terbaik adalah bekerja maksimal sesuai tupoksi guna menutupi kekurangan-kekurangan yang mungkin saja timbul.
Persoalan salah profesi di lingkup birokrasi pemerintahan daerah sudah mendarah daging meski awalnya rekruitmen pegawai berdasarkan analisis kebutuhan jabatan mensyaratkan latar belakang pendidikan yang berkesesuaian. Misalnya kebutuhan pegawai dalam jabatan sebagai Analis Pengelolaan Sumber Daya Air, latar belakang pendidikan yang dipersyaratkan adalah sarjana S1 teknik sipil/pengairan, namun dalam perjalanannya bisa saja berubah seratus delapan puluh derajat, misalnya jabatan yang mensyaratkan pendidikan teknik diisi oleh orang yang berasal dari bagian kepegawaian dengan disiplin ilmu sosial dan bagian kepegawaian diisi dengan orang yang berlatar belakang pendidikan teknik.
Terus terang hal seperti ini sangat mengganggu dan tidak kondusif dalam dunia kerja, saya pernah merasakan betapa repot dan beratnya bekerja dengan personil yang salah profesi.
Bisa dibayangkan saya yang bekerja di dinas pekerjaan umum di bidang sumber daya air, yang sedang fokus-fokusnya membenahi infrastruktur penanggulangan banjir dengan target bebas banjir dalam dua tahun, serta fokus juga mengoptimalkan dan meningkatkan infrastruktur daerah irigasi, tapi tiba-tiba ada pergantian kepala bidang dan yang ditunjuk adalah seorang dari dinas lain yang sama sekali tidak berhubungan dengan ke PU-an dan konyolnya lagi latar belakang pendidikannya adalah sarjana agama. Sampai-sampai teman-teman membuat lelucon bahwa untuk menanggulangi banjir tak perlu memperkuat tebing sungai tapi perkuatlah doa makanya pak Kabidnya sarjana agama.
Alhasil dengan kondisi demikian, seorang pejabat yang sama sekali baru tanpa kompetensi di bidangnya, hanya memenuhi syarat kepangkatan saja, akhirnya segala tugas yang menjadi tupoksinya harus dilaksanakan oleh pejabat dibawahnya.