Api konflik di tubuh Partai Demokrat masih terus menyala, kubu Moeldoko yang terpilih sebagai ketua umum melalui Kongres Luar Biasa (KLB) di Deli Serdang, belum bisa bernafas lega malah terlihat mulai kedodoran, sampai saat ini pelaporan kepengurusan ke Kemenkumham masih belum jelas.
Kedua kubu saling melakukan manuver untuk mendapatkan legitimasi hukum, tapi sepertinya akhir dari konflik internal partai Demokrat ini akan berakhir panjang, masing-masing pihak punya banyak kepentingan lebih dari sekedar hanya memperebutkan partai, ambisi kekuasaan sangat nyata dipertontonkan dalam konflik yang terjadi ini.
Konflik internal partai bukan baru terjadi di partai Demokrat saja, seperti konflik yang sudah-sudah bahwa pemenangnya pastilah pengurus yang mempunyai kedekatan dan kesamaan kepentingan dengan pemerintah, itu sudah menjadi kagu wajib dari setiap konflik partai.
Kita ingat konflik di PDI, antara PDI Megawati dan PDI Soerjadi, meski didukung oleh sebagian besar kader tapi Megawati tetap kalah oleh Soerjadi yang didukung pemerintah saat itu.
PKB juga mengalami hal yang sama, Gus Dur vs Muhaimin, yang secara logika sehat dari sisi manapun tak mungkinlah kader dan pengurus PKB lebih menginginkan Muhaimin ketimbang Gus Dur, tapi karena ada kepentingan dan keberpihakan pemerintah maka Gus Dur pun lewat.
Konflik Golkar juga setali tiga uang, sarat dengan kepentingan dan keberpihakan pemerintah, meski secara nyata kubu Munas Bali adalah pengurus yang sah dibuktikan secara yuridis mulai tingkat pertama hingga kasasi semua dimenangkan oleh kubu Aburizal Bakrie, tapi pengakuan dari kemenkumham justru diberikan kepada kubu Munas Ancol dengan ketuanya Agung Laksono.
Konflik serupa juga kembali terjadi di tubuh PPP, kubu Roma dan Djan Farid harus berseteru karena perbedaan kepentingan, dan lagi-lagi pihak yang berpihak kepada pemerintah yang akan mendapatkan pengakuan dari pemerintah.
Nah, konflik di tubuh Demokrat ini juga dipicu oleh kepentingan koalisi, isu dan intrik yang dilemparkan oleh kubu KLB terhadap kubu AHY Â hanya alasan pendukung saja, tapi inti yang sebenarnya adalah membawa partai Demokrat ke dalam koalisi besar.
Sayangnya tidak seperti partai-partai yang berkonflik Sebelumya, kelompok yang menyempal dari partai Demokrat AHY tidak memiliki calon yang memiliki kapasitas untuk menakhodai sendiri partainya, sehingga terpaksa harus mencomot orang luar yang dalam hal ini merupakan blunder yang fatal karena memilih Moeldoko yang notabene merupakan lingkar dalam kekuasaan.
Dalam kondisi demikian, apalagi dengan turun langsungnya SBY dalam konflik ini, happy ending yang diharapkan oleh kubu Moeldoko tidak akan mudah tercapai, malah kubu KLB hanya akan merasakan tidak enaknya menggigit jari sendiri.
Disinilah kapasitas politik SBY itu diuji, dan nampaknya SBY cukup piawai dan sangat jitu memainkan konflik ini, sehingga sesuatu yang sebenarnya tidak bisa mereka menangkan, menjadi berbalik jadi sesuatu yang mereka tidak dapat dikalahkan.